Memang Apa Salahnya Si “Tanpa Tanda Jasa” Meminta Jasa Lebih?
***
Sering kali, ketika kita membicarakan profesi guru,
nyaris semua orang akan menghubungkannya dengan sosok pahlawan yang disematkan
embel-embel “tanpa tanda jasa” di belakang namanya. Konon, penyematan ini tak
lepas dari sejarah perjuangan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) di masa
sebelum kemerdekaan hingga pada akhirnya di tanggal 25 November 1994, melalui
Kepres Nomor 78 tahun 1994, Presiden Soeharto menetapkan Hari Guru Nasional
(HGN) sebagai bentuk penghargaan bagi para guru.
Organisasi para guru pribumi pada masa pemerintahan
Hindia Belanda yang berdiri pada tahun
1912 tersebut turut andil dalam upaya memperjuangkan kesamaan hak dan posisi
masyarakat pribumi hingga sampai pada kesadaran
masyarakat terhadap kemerdekaan di atas kaki dan pemikiran mereka
sendiri. Barangkali lantaran perjuangan itulah, tak berlebihan jika penyematan
pahlawan “tanpa tanda jasa” dianugerahkan kepada profesi guru.
Tetapi sialnya, sematan pahlawan “tanpa tanda jasa” bagi
seorang guru dewasa ini--pada masa yang sudah merdeka ini-- serupa sebuah opium
yang memabukkan serta menumbuhkan kebanggan semu di benak para guru sembari saban hari, mereka
bersusah payah mengasapi dapur-dapur mereka dengan bekerja serabutan menjadi
penjual pulsa, ngojek online, jualan baju, menulis di koran, atau calo pembuat E-KTP bagi
para tetangga-tetangga mereka.
Jika pada masa pra-kemerdekaan, kita tak sulit menerima bahwa seorang guru
adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Orientasi para pendahulu kita concern pada upaya memperjuangkan
kesamaan hak dan posisi masyarakat pribumi dengan para penjajah. Namun, pada masa sekarang ini,
kita tak sedang berhadapan dengan penjajah fisik maupun penjajah kedaulatan
bangsa. Di atas kertas, kita telah merdeka dalam menjalankan sistem pendidikan
dengan gaya apapun. Mengapa dengan itu, kita tak memberikan kemerdekaan upah pada sosok, yang katanya, pahlawan tanpa tanda
jasa? Profesi guru, layaknya profesi lain dewasa ini hidup dalam orientasi yang
jelas jauh dari cita-cita para pendahulu.
Di era di mana tak ada senapan dan pendudukan bangsa lain , para guru tengah
memperjuangkan hidup mereka masing-masing dari penjajahan sistem komersialisasi
pendidikan, kebutuhan akan produk-produk kapitalisme, dan kebutuhan yang sama
dengan profesi lainnya.
Dan barangkali, pasca-kemerdekaan ini, kita akrab dengan
istilah jenjang profesi guru yang keduanya,
nyaris berjauhan. Pertama, guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang secara
administratif dan upah memiliki tingkat kesejahteraan yang terbilang baik.
Kedua, mari kita sambut mereka, guru Honorer, yang disematkan kepada para guru
pemula, atau mereka yang telah renta, di mana secara administratif dan upah
bernasib kurang beruntung. Pertanyaan paling mendasar dari perbedaan kedua
jenjang pada profesi guru ini ialah siapa yang pantas menerima gelar pahlawan
tanpa tanda jasa?
Persoalan kekurangan upah bagi para guru honorer selalu
menjadi isu hangat pada momentum Hari Guru Nasional setiap tahunnya. Bahkan,
persolan ini ditengarai menjadi penyebab sistem pendidikan kita yang
morat-marit. Para guru anyar, atau mereka yang telah mengabdi lama, namun belum
bisa menembus seleksi menjadi PNS,
harus membagi waktu dan fokus mereka untuk menambah pundi-pundi
penghidupan dari pekerjaan lain. Padahal, guru merupakan garda terdepan dalam
proses pendidikan. Mereka mesti memperhatikan tumbuh kembang anak didik,
menyiapkan materi, mencari metode pembelajaran yang tepat, menyusun RPP,
mengoreksi tugas, dan tetek-bengek tuntutan dalam proses pembelajaran. Di
samping itu, mereka, yang masih menjadi guru honorer itu, harus juga memikirkan
dapur-dapur rumah mereka agar tetap ngebul,
tuntutan orang tua mereka yang menginginkan anaknya sukses, istri mereka yang
bangga akan suami seorang guru dan jangan lupakan, mertua mereka yang membawa
menantunya ke ruang-ruang pengajian dan mengatakan kepada semua orang bahwa
menantunya adalah seorang guru, sosok pahlawan “tanpa tanda jasa” tanpa tahu
bahwa penghasilan mereka tak cukup untuk mencicil perabotan rumah.
Salah satu kawan, yang juga beliau merupakan seorang guru
honorer, berpendapat bahwa seharusnya seorang guru tak boleh kufur nikmat
dengan mengeluh tentang nominal gaji mereka. Upah 300.000--500.000/bulan yang
didapat seorang guru honorer jelas dikarenakan jam kerja mereka yang sedikit.
Mereka harusnya menambah pundi-pundi penghasilan dengan menjadi Wali Kelas,
Pembimbing Ekstrakurikuler, penjaga Laboratorium, atau di luar dari itu,
mencari pekerjaan tambahan lain untuk menambal kekurangan penghasilan mereka,
atau seperti dirinya, menjadi penulis. Ia juga mengatakan bahwa apa jadinya
jika semua guru menjadi seorang PNS, Indonesia lekas hancur. Logika yang
dahsyat—untuk tidak menyebutnya naif.
Padahal, jika lebih berhati-hati, persoalan guru yang
mengeluh tentang nominal upahnya itu bukan karena mereka tak bisa mencari
pundi-pundi penghasilan dari pekerjaan lain. Persoalan keluh-mengeluh semacam
itu adalah persoalan mutakhir manusia yang hidup di era kapitalistik hari ini,
di mana surga pasar menghadirkan berbagai macam pernak-pernik keindahan. Dengan
pendapatan menjadi guru honorer sebesar 300.000—500.000/bulan, maka tak salah
jika mereka menjadikan profesi guru sebagai penggugur kewajiban gelar
administratif, dan menjadikan pekerjaan lain sebagai upaya untuk menjangkau pernak-pernik keindahan surga pasar
itu. Keluhan mereka saya rasa cukup wajar lantaran profesi kebanggan yang mulia
itu hanya diganjar dengan upah yang tak
setara dengan tugas yang mereka emban, mencerdaskan generasi bangsa.
Aspek yang lebih
baik disoroti ialah mengapa guru digaji dengan nominal serendah itu? Mengapa
guru tak dibiarkan tetap menjadi guru yang fokus memikirkan kemajuan
pendidikan, bukan malah mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan
yang berdampak pada terbaginya fokus mereka dan menyebabkan pendidikan kita
tertinggal dari negara-negara lain? Apakah lantaran menjamurnya para “kapitalis”
yang mendirikan bisnis sekolahan turut andil menjadi penyebab rendahnya gaji
guru? Atau apakah pemerintah tak cukup berani membayar para guru dengan gaji
yang besar lantaran menurut mereka, pendidikan tak cukup memberikan banyak
dampak dan kecepatan bagi pertumbuhan ekonomi dibanding bidang industri atau
manufaktur misalnya? Padahal, percaya atau tidak, bagi saya, sistem pendidikan
yang canggih berdampak pula pada peradaban bangsa yang canggih. Bisa jadi, sistem
pendidikan yang canggih dimulai dari sejahteranya para pendidik sehingga mereka
hanya fokus menggeluti dunia kependidikan sebagai profesi mulia yang mereka
banggakan.
Jika boleh membandingkan, dikutip dari lifepal.co.id,
Indonesia menempati peringkat ke 2 dari 10 negara dengan rata-rata gaji guru
terendah dengan pendapatan sekitar USD 2.830/tahun atau jika dirupiahkan kurang
lebih sekitar 40 jutaan/tahun. Posisi pertama diraih oleh Pakistan dengan total
pendapatan per tahun sebesar 22 juta. Sedangkan posisi pertama gaji guru
tertinggi disabet oleh negara kaya raya asal benua Eropa, Luxemburg, yang
berani menginvestasikan gaji untuk para guru sekolah menengah pertama, baik
yang non-pengalaman atau seniornya sekitar USD 70.000—USD 124.000 (sila
rupiahkan sendiri!!) Kita kemudian bisa saja menyebut perbandingan ini tidak apple to aple karena tak memperhitungkan
banyak aspek yang melatarbelakanginya. Saya sepakat akan hal itu. Namun
perbandingan ini bisa dijadikan sebagai rujukan bagaimana negara maju
menginvestasikan angarannya untuk memajukan sistem pendidikan mereka. Lagi-lagi,
saya percaya, bahwa negara yang hebat dimulai dari sistem pendidikannya yang
hebat. Dan sistem pendidikan yang hebat dimulai dari keberanian investasi
dengan jumlah besar pada pendidikan, termasuk gaji guru. Bukan malah semakin
mempersulit seleksi CPNS untuk guru dan menggantinya dengan PPPK di tengah
semakin menjeritnya para guru honorer. Lagi pula, siapa yang disalahkan jika
pendidikan tak berjalan sesuai cita-cita
yaitu mencerdaskan generasi bangsa?
Pada akhirnya, jargon guru sebagai pahlawan tak cukup relevan apabila kemudian dengan jargon
itu, upah mereka di-nina-bobokan dengan idiom “tanpa tanda jasa”-nya. Lagi pula
proses mendapat prediket guru itu pun tak murah, dan malah nyaris sama dengan
gelar-gelar profesi lain. Ada baiknya, sematan “tanpa tanda jasa” tetap menjadi
milik guru tanpa menjadikan sematan itu sebagai alibi bahwa layaknya sosok
pahlawan tanpa tanda jasa, guru tak
boleh sejahtera.
Comments
Post a Comment