Persoalan Bau Badan dan Kemiskinan Struktural dalam Film Parasite
***
Saat saya pertama kali melihat
informasi terkait film Parasite yang menyabet empat nominasi Piala Oscar
sekaligus, saya tercengang. Ketercengangan saya bukan dikarenakan saya sudah menontonnya
lalu merasa bahwa film ini memang bagus dan layak untuk menang. Tetapi saya
tercengang lantaran, pertama, saya baru melihat poster itu berseliweran
sebelumnya dan saya sama sekali tidak
tertarik untuk menontonnya, atau sekadar membaca sinopsisnya. Kedua, saya
menganggap bahwa dari visualisasi poster film yang bertebaran di media sosial
dengan judulnya yang aneh, Parasite hanyalah
sebuah film drama keluarga yang
menampilkan sisi melankolia yang menguras air mata. Setidaknya waktu itu, saya
sedang malas mengeluarkan banyak air
mata untuk menonton film sejenis itu.
Namun
setelah memutuskan untuk menonton karena rasa penasaran saya yang sudah
meronta-ronta, kesan pertama yang lahir di dalam benak saya adalah bahwa film
ini bukan sekadar drama keluarga penuh haru. Lebih dari itu, ia mengobrak-abrik
segala perasaan di batin saya. Sedih, tertawa getir, ironi, iba, jengkel, dan
sekelumit perasaan sialan lainnya mendesak-desak di tubuh saya.
Tidak seperti pendahulunya, Snowpiercer (2013) yang menampilkan
kesenjangan kelas secara horizontal dalam sebuah gerbong kereta, atau Titanic (1997) yang menyoroti nasib
penumpang di dalam sebuah kapal megah, atau yang terbaru, Us (2019) di mana realitas coba divisualisasikan dalam bentuk dunia
“atas” dan dunia “bawah”, Bong Joon-ho
dalam Parasite berusaha menyoroti kesenjangan sosial dalam garis vertikal dengan visualisasi yang lebih realistis
tentang bagaimana si miskin dan si kaya hidup dalam skenario kapitalisme zaman
modern.
Parasite
bukan sebuah konsep yang baru, namun tak berlebihan jika kemudian film asal
Korea Selatan ini diganjar berbagai
macam prestasi sekelas Piala Oscar dan
apresiasi positif dari berbagai kalangan lantaran memiliki sinematografi yang
apik, serta sisi visualisasi yang
kontras menggambarkan konflik nyata yang
terjadi di masyarakat Korea Selatan dan bahkan dunia. Plot sederhana yang disajikan
dan dikemas dengan ciamik oleh Bong
Joon-ho menjadikan konflik kesenjangan kelas dalam Parasite benar-benar khas dan memancing kesadaran, kengiluan, decak
kagum, serta pertanyaan: Apakah memang
benar bahwa kehidupan nyata kita berjalan setragis itu?
Rumah yang sempit dan kumuh, kecoa
yang berlompatan atau yang mendekam di dalam wadah makanan, mencuri sinyal dari tetangga, serta jemuran yang
menggantung di dalam rumah adalah realitas dari kehidupan orang-orang miskin. Sedangkan rumah yang tinggi dan luas, lampu
yang terang, fasilitas yang lengkap, halaman yang segar dan indah, makanan yang
enak dan banyak merupakan citra dari kehidupan orang-orang kaya. Parasite, film bergenre family-tragic-comedy yang berdurasi
sepanjang 132 menit berusaha menceritakan sebuah komedi tanpa badut, dan tragedi
tanpa penjahat dalam kehidupan sehari-hari si kaya dan si miskin yang tinggal di satu bumi yang sama dalam
realitas kelas yang berbeda.
Untuk kamu yang ingin membaca review film-film favorit kamu dan mendapat rekomendasi film berkualitas, klik di sini!
SINOPSIS
Film yang disutradari oleh Bong
Joon-ho dan dibintangi oleh 13 aktris dan aktor kenamaan asal Korea Selatan
yaitu Song Kang-ho (Kim Ki-taek), Jang Hye-jin (Chung-seok), Choi Woi-shik (Ki-woo/Kevin),
Park So-dam (Ki-jeong/Jessica), Lee Sun-kyun (Tn. Park), Cho Yeo-Jeong (Yeon-gyo),
Hyun Seung-min (putri Park/Da-hye), Jung Hyeon-jun (putra Park/Da-song), Lee
Jeung-eun (asisten rumah tangga Park/Mun-Gwang), Park Myung-hoon (suami asisten
rumah tangga/Geun-se), Park Geun-rok (sopir lama Park), dan Park Seo-joon
(mantan guru les privat keluarga Park) merupakan film yang dirilis pertama kali
dalam Festival Film Cannes pada tahun 2019 dan diproduseri oleh Barunson
E&A Corp.
Parasite
bercerita tentang keluarga miskin Kim yang terdiri dari seorang istri dan
kedua anaknya yang tinggal di sebuah apartemen semi-bawah tanah (bajinha)
kumuh. Keluarga itu bekerja serabutan menjadi kuli pelipat kardus pizza
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Suatu hari, sahabat Ki-Woo, putra tertua Kim,
menawarkannya pekerjaan mengajar privat bahasa Inggris untuk menggantikannya
yang akan kuliah ke luar negeri. Ki-woo
kemudian menerima tawaran tersebut dan berharap bahwa pekerjaan itu bisa
membantu ekonomi keluarganya.
Saat memasuki kediaman keluarga
Park, Ki-Woo teramat senang melihat kemegahan rumah itu. Hal itu menyebabkan
Ki-woo bersemangat untuk bisa bekerja di sana. Setelah Ki-woo diterima bekerja
di keluarga Park dengan modal ijazah yang dipalsukan, ia pun akrab dengan istri
dari tuan Park, Yeon Gyo. Ki-woo memanfaatkannya untuk membawa anggota
keluarganya ikut bekerja di rumah sang majikan. Atas sandiwara yang telah
dibuat, mereka pelan-pelan menyingkirkan pekerja lama keluarga Park dan
membawa seluruh anggota keluarganya
untuk bekerja di rumah keluarga Park. Ki-jeong atau Jessica, putri Kim, sebagai
guru seni dari putra Park, Kim sebagai sopir, dan istrinya, Chung-seok sebagai
asisten rumah tangga.
Sandiwara mereka berjalan dengan
mulus. Saat keluarga Park pergi berkemah untuk merayakan ulang tahun si kecil
Da-song, keluarga Kim berpesta di rumah sang majikan. Namun nahas, asisten
rumah tangga lama keluarga Park datang dan memohon untuk diizinkan masuk ke
dalam rumah untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Kedatangan asisten rumah
tangga lama keluarga Park ternyata menjadi awal malapetaka besar. Keluarga Kim
terkejut saat mendapati bahwa di bawah rumah megah itua ada sebuah bunker di mana seorang laki-laki yang
ternyata merupakan suami dari Mun-gwang tinggal di sana.
Terjadilah aksi saling berebut
kekuasaan rumah itu. Saat adegan perebutan sedang berlangsung, tiba-tiba dering
telepon berbunyi dan ternyata keluarga Park sedang dalam perjalanan pulang. Keluarga
Kim pun menyandera Mun-Gwang istrinya di
dalam bungker.
Puncaknya, saat perayaan ulang tahun
Da-song, Ki-woo berusaha menyingkirkan Mun-Gwang dan suaminya karena
keberadaanya akan mengancam posisi keluarga Kim. Ki-woo kemudian malah terbunuh
oleh Geun-soo. Lantaran istrinya Geun-soo meninggal dan merasa diperlakukan
sangat keji oleh keluarga Kim, ia mengamuk di pesta ulang tahun Da-song dan
ingin membunuh keluarga Park. Dalam adegan itu, Jesica terbunuh dan menyebabkan
Dang-so shock. Semua orang, termasuk
keluarga Park panik dan berhamburan ke segala tempat.
Saat akan membunuh Cheung-seok, terjadilah
aksi saling tikam yang kemudian dimenangkan oleh Cheung-seok. Geun-soo pun
terkapar. Sembari memapah tubuh Jesica yang tengah sekarat, Kim melongo
menyaksikan kejadian mengerikan itu. Ia tak menyangka bahwa rencana mereka
berakhir setragis itu. Tuan Park kemudian meminta kunci mobil kepada Kim untuk
membawa putranya dan kabur dari tragedi itu. Saat Kim melempar kunci mobil
milik Park, kunci tersebut tertindih tubuh Geun-soo. Ketika Park ingin
mengambil kunci itu, ia sempat-sempatnya mengurusi bau badan Geun-soo yang
menyebabkan Kim sakit hati. Kim pun menyergap
Park dengan sebilah pisau yang menyebabkan Park terkapar.
Persoalan Bau Badan
Jika
persoalan bau badan hanya dimaknai sebatas hidung dan penciuman, kita akan
terjerembab pada sebuah makna sempit yaitu tentang selera wewangian. Pasalnya,
persoalan bau badan memiliki makna yang jauh lebih gelap, yaitu soal kelas
sosial, soal kemiskinan. Orang miskin bukan tak kepingin memiliki aroma wangi
pada tubuhnya. Tetapi mereka tak memiliki kemampuan untuk memilih dan membeli jenis wewangian
khusus. Persoalan wewangian bagi kelas bawah adalah persoalan yang jauh dari
perhitungan ekonomi mereka. Jangankan membeli wewangian sejenis Christian Dior yang beraroma citrus,
atau Calvin Klein Eternity Summer
yang memiliki varian rasa, bahkan untuk persoalan perut saja, yang itu
merupakan persoalan paling mendasar manusia, mereka masih sangat kelimpungan. Persoalan lain yang lebih mendasar daripada
wewangian ialah sanitasi dan air bersih.
Sanitasi yang baik merupakan privilese untuk sebagian orang. Memiliki sanitasi
yang baik dan akses air bersih bagi orang miskin yang tinggal di pemukiman
kumuh merupakan sebuah impian yang barangkali setara dengan impian mereka
memiliki rumah gedongan. Novelis Edward Bulwer-Lytton pernah mencetuskan frasa
olok-olok terkenal yang berbunyi “the great unwashed” yang menyoroti
tentang orang-orang di sudut kota Britania Raya yang miskin. Bagi mereka, si
miskin itu, persoalan mandi ialah persoalan yang sangat besar sehingga sulit untuk
mereka dapatkan.
Parasite
berusaha menceritakan kesenjangan sosial melalui elemen remeh temeh seperti
masalah bau badan. Bau, layaknya cinta,
bukan sesuatu yang buta, bau juga mengenal kasta. Pada adegan pertama, film
menampilkan bagaimana kondisi rumah keluarga Kim. Meskipun penonton tak dapat
merasakan semerbak bau busuk di dalam rumah itu melalui hidung mereka, kita
dapat merasakan bahwa betapa bau tak sedap terasa di setiap sudut rumah yang
tinggi jendelanya bahkan setara dengan
tinggi jalan di luar rumahnya. Kaus kaki yang menggantung di ruang tamu,
sirkulasi udara yang kurang baik, lubang kotoran yang berdekatan dengan ruangan lain, dan
halaman depan rumah keluarga Kim yang dijadikan toilet umum oleh para pemabuk,
sudah dapat kita rasakan wewangian semacam lobak busuk, bau wangur, bau pesing, bau anyir
berkitar-kitar setiap hari di rumah itu.
Pada adegan lain, putra Park,
Da-soong mengatakan bahwa Jessica, sopir Kim, Kevin, dan Cheung-seok sang
asisten rumah tangga memiliki bau yang sama. “Bau yang sama” bagi anak sekecil
Da-soong yang telah terbiasa menggunakan wewangian khusus, merupakan sebuah
keganjilan. Anggota keluarga Park yang kaya itu, jelas memiliki hak dalam
menentukan selera wewangiannya sendiri. Mereka bebas memilih merk parfume sendiri
sesuai kehendak. Namun untuk keluarga Kim yang tengah menyamar sebagai orang
lain di rumah keluarga Park, wewangian menjadi kebutuhan nomor sekian dalam
catatan mereka. Karena perkataan Da-soong, sandiwara mereka nyaris terbongkar
lantaran bau mereka yang sama persis. Bau tersebut bukan saja berasal dari jenis
wewangian yang sama, akan tetapi, bau yang berasal dari kemiskinan. Tempat
tinggal mereka, juga cara mereka mencuci pakaian dan mandi merupakan penghasil
bau alami yang melekat di tubuh mereka. Maka, persoalan bau bukanlah sekadar
persoalan penciuman dan selera, tetapi lebih dari itu, ia menyangkut persoalan
kelas sosial.
Tn. Park dalam adegan lain,
menjadikan persoalan bau ini sebagai sebuah lelucon—yang ini kemudian menjadi
asal muasal Kim merasa sakit hati. Sekitar kurang lebih 16 kali persoalan bau disebut dalam Parasite. Bau badan Kim,
sebagai sopir pribadinya, ia ibaratkan serupa lobak busuk dan bau kereta bawah tanah.
Bahkan, saat ia tengah bercinta dengan istrinya, ia memancing birahinya dengan
mengolok-olok bau celana dalam yang merupakan milik Jesicca saat digunakan
untuk menjebak sopir lama Park. Persoalan bau dalam Parasite ini kemudian yang melatarbelakangi mengapa Kim membunuh
Park. Kita boleh saja mengatakan bahwa pilihan Kim menghabisi Park hanya karena
alasan bau badan adalah sebuah keputusan yang konyol. Namun jauh lebih dari
sebuah persoalan bau, saya menganggap, bahwa persoalan ini merupakan persoalan
harga diri, persoalan kemiskinan.
Kemiskinan Struktural
Kisah orang miskin yang berhasil
sukses karena kerja kerasnya memang ada, baik dalam dunia nyata maupun film.
Dalam film, sebut saja misalnya The
Pursuit of Hapynes (2006), Slumdog
Millionaire (2008), Laskar Pelangi(2008) atau puluhan film lainnya yang dengan
senang hati dan penuh cinta menginspirasi hidup kita selepas menontonnya. Namun
bagi mayoritas orang miskin, kisah-kisah heroik semacam itu ialah lelucon yang
naif—untuk tidak menyebutnya ajaib. Maka, kita sering kali merasa takjub dengan
seseorang yang berasal dari keluarga miskin yang dapat meraih kesuksesan.
Sedangkan, kita akan merasa biasa saja jika seseorang yang sukses tersebut
terlahir dari keluarga konglomerat. Parasite hadir dalam kontruksi
kesenjangan sosial dan berusaha
menjabarkan kepada kita sebuah realitas yang banyak dialami oleh masyarakat
miskin di seluruh dunia—yaitu kemiskinan struktural.yang menyebabkan kemiskinan
kultural.
Sebagian orang, terutama kelas
menengah atas, memiliki pandangan bahwa kemiskinan itu merupakan sesuatu yang
alamiah yang disebabkan oleh kemalasan dan kebodohan pelakunya. Setiap orang
bisa sukses dan mewujudkan impiannya asal mereka mau berusaha dan bekerja
keras. Dengan asumsi demikian, seseorang yang telah bekerja banting tulang,
berangkat pagi pulang petang, namun belum juga mapan secara finansial, akan
dianggap telah melakukan kesalahan dan dipandang tidak bekerja dengan keras.
Bukan saja asumsi tersebut menjijikan, namun ia juga terdengar mengerikan.
Seseorang yang masih terperangkap
dalam kemiskinan, tidak serta-merta dikarenakan kurangnya mereka dalam bekerja
keras, imoralitas, atau kebodohan yang hinggap pada dirinya, namun lebih dari
itu, ia lahir dari adanya struktur dan sistem yang pincang, warisan orang tua yang membentuk
rantai kemiskinan panjang, kebijakan pemerintah yang hanya berpihak pada
segelintir orang, dan kesempatan yang tidak sama. Hal itulah yang kemudian menyebabkan sebagian masyarakat memiliki hidup
yang lebih baik, dan sebagian yang lain tetap dalam jalur kemelaratannya. Struktur
demikian mendorong kesenjangan dalam berbagai aspek seperti pendidikan,
transportasi, informasi, kesehatan, dan pekerjaan. Seorang anak yang lahir
dalam keluarga miskin dan tinggal di pemukiman kumuh, kemungkinan besar akan
meneruskan estafet kemiskinan keluarganya lantaran akses kesehatan, pendidikan,
informasi, transportasi, dan pekerjaan yang tidak sama dengan anak dari
keluarga orang kaya.
Parasite
menampilkan dua keluarga dengan posisi
garis vertikal (stairway) yang jelas.
Keluarga Kim ada pada garis bawah kemiskinan. Rumahnya berada di sebuah
pemukiman semi-bawah tanah yang kumuh dan sempit. Bahkan untuk menuju ke
rumahnya, Ki-woo harus menuruni ratusan anak tangga yang apabila hujan turun
dengan lebat—yang bagi sebagian orang
kaya, hujan ialah anugerah—rumah-rumah di pemukiman keluarga Kim mengapung bak
buih di lautan. Sedangkan keluarga Park ada pada garis atas kenikmatan. Ia
tidur nyenyak di sebuah rumah dengan desain interior yang artistik, ruangan
yang luas dan sejuk, dan untuk memasuki halaman rumahnya nan indah itu, Ki-woo
harus menaiki puluhan anak tangga. Dengan posisi garis vertikal yang tidak sejajar itulah kemudian menyebabkan dua keluarga tersebut tidak mendapatkan akses
yang sama. Keluarga Park bisa makan dengan enak, terus menghasilkan pundi-pundi
finansial dari pekerjaannya yang elit, memberi pendidikan yang layak bagi
anak-anaknya, berlibur ke mana pun mereka mau, hingga memilih jenis wewangian
apapun yang disukai. Sedangkan keluarga Kim, bisa makan dengan enak dan cukup
saja sudah merupakan sebuah kebahagian yang luar biasa.
Dalam Parasite, penonton diajak menyadari sebuah ketimpangan kelas di
satu tempat, yaitu rumah keluarga Park.
Bong Joon-ho tidak membawa kita ke pabrik-pabrik di mana para buruh bersusah
payah menyambung hidup dengan jam kerja yang panjang dan upah yang sedikit,
atau sebuah kota dengan banyak gelandangan dan orang miskin di sudut-sudutnya. Wilayah
privat antara pekerja dan majikan di sepanjang adegan digambarkan sebagai
kesenjangan yang nyata antara si miskin dan si kaya. Bahkan pertarungan dalam
mempertahankan hidup antara si miskin keluarga Kim dan si miskin asisten lama
keluarga Park berada di tempat itu
Kesenjangan sosial-ekonomi pada Parasite digambarkan di sepanjang adegan
film. Cheung-seok, istri Kim, merupakan
seorang mantan atlet bulu tangkis Korea Selatan. Foto dan sebuah medali yang
menempel di dinding rumah Kim adalah buktinya. Karena kebijakan pemerintah
Korsel, jasa Cheung-seok sebagai atlet tak diperlakukan semestinya sehingga
menyebabkan dirinya tetap menjadi seorang ibu rumah tangga yang miskin. Jessica,
anak perempuan Kim, yang memiliki keahlian desain grafis, tak berdaya lantaran
tak memiliki akses pendidikan sebagai syarat administrasi untuk mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik. Kemampuan ekonomi keluarga Kim menyebabkan Ki-woo
pun tak dapat melanjutkan pendidikannya. Maka, kesenjangan ini menyebabkan imoralitas
menjadi pilihan mereka dalam upaya menunjukan keberadaanya dan kemampuannya
kepada orang lain seperti menipu, memalsukan ijazah, hingga membunuh. Kelaparan,
kebutuhan akan hidup yang layak, dan pengakuan eksistensi keberadaan mereka
sebagai manusia yang sama dengan manusia lain merupakan alasan mereka bertindak
melebihi batas hitam dan putih. Sandiwara yang mereka rencanakan membuktikan
bahwa mereka tak pernah mencemaskan kemampuannya—bahasa Inggris, seni lukis,
sopir, atau memasak. Mereka hanya cemas diketahui sebagai orang miskin. Mereka
takut tak dianggap sebagai manusia karena mereka miskin.
Bong Joon-ho seperti ingin menampar
kita bahwa hidup tidak selalu tentang hitam dan putih, baik dan jahat, benar
dan salah. Lebih dari itu, hidup selalu abu-abu. Parasite
juga tidak menampilkan realitas utopis manusia“yang sangat baik” melawan manusia “yang sangat jahat”. Dunia manusia
dalam Parasite berjalan di rel
keputusan di mana kondisi menjadi bahan bakar keputusan itu. Kita akan bingung
menentukan siapa sosok antagonis dan protagonis dalam Parasite. Setiap keputusan para tokoh tidak bisa begitu saja
dilabeli sekadar benar atau salah. Keputusan-keputusan yang lahir dari diri
mereka merupakan sesuatu yang diyakini paling mungkin dilakukan berdasarkan
fakta yang mereka punya. Keluarga Kim tidak bisa dilabeli begitu saja sebagai
orang-orang jahat. Ada sejarah dan kondisi sosial-ekonomi yang melatarbelakangi
perbuatan mereka. Seperti pada dialog antara Kim dan Cheung-seok, “Walau dia (istri tuan Park) kaya, dia tetap
baik,” kata Kim, “Dia baik karena dia
kaya,” jawab istrinya.
Pada Akhirnya...
Sekali lagi, Parasite memiliki karismatiknya sendiri sebagai sebuah film yang
fokus berpijak membedah ketimpangan sosial-ekonomi sebagai akibat dari
kemiskinan struktural yang dialami kebanyakan masyarakat di Korea Selatan dan
dunia. Terutama bagi saya, film ini memiliki impresi yang melekat di diri saya
sebagai seorang yang dekat dengan cerita tersebut. Simbol-simbol kemiskinan,
kenelangsaan, kemelaratan, dan kebuntuan dalam mengupayakan kelayakan hidup
adalah sebuah kritik tajam di sepanjang film. Kita akan dibuat tertawa karena
komedinya yang menyakitkan, sekaligus dibuat jengkel karena tragedinya yang
mengerikan. Film garapan Bong Jon-ho ini nyaris sempurna. Tak seperti Shoplifters (2018) yang bergerak lebih
realistis kemelut hidup setiap tokohnya, Parasite
terlalu ambisus memadukan unsur
komedi hingga tragedi pembunuhan berdarah-darah
yang menjadikannya terasa kurang subtil. Namun, pada akhirnya, ketimpangan
sosial yang dijadikan pijakan dalam Parasite
cukup berhasil menggambarkan betapa perbedaan kelas memang nyata di sekitar
kita, dan upaya perjuangan kelas hanyalah sebuah teori utopis—untuk tidak
menyebutnya sebagai keajaiban.
Dan Bong Joon-hoo sukses mengakhiri
kejengkelan kita dengan adegan khayalan Ki-woo yang ingin menjadi kaya dan
kelak membeli rumah bekas peninggalan Park untuk menyelamatkan ayahnya yang
kini tinggal di dalam bungker rumah keluarga Park sebagai buronan. Iringan soundtrack “564” menjadi pesan satir
yang secara harfiah diartikan bahwa butuh 564 tahun bagi Ki-woo untuk
mewujudkan impian menjadi orang kaya dan membeli bekas rumah Park itu. Dan, pada akhirnya, Parasite menutup dirinya dengan adegan Ki-woo yang meletakan sebuah
batu alam pemberian sahabatnya di sebuah sungai—di sebuah tempat yang
semestinya. Ia seperti bercerita kepada kita, bahwa sumber malapetaka
keluarganya adalah ketika ia mulai berencana
untuk menjadi kaya. Padahal ia adalah seorang yang miskin, yang tetap
semestinya menjadi miskin.
Comments
Post a Comment