Jadi Pejabat Memang Harus Korupsi
____________
Ketika rumah Anda didatangi oleh seorang pemuda ramah senyum berpakaian rompi hitam berlogo garuda merah-putih bertulis Komisi Pemilihan Umum dan meminta izin untuk sensus data mutakhir, itu artinya ritual akbar demokrasi yang syarat akan kesakralan sebentar lagi di mulai. Kurang lebih setahunan lagi, ritual penuh makna ini memulai kick-off nya.
Kabarnya, Pilkada dan Pilpres akan serentak dilaksanakan pada 14 Februari 2024 (kalau tidak salah). Tentu saja, sebagai masyarakat, saya begitu menanti pagelaran megah ini dengan suka cita yang amat mendalam.
Euforia nya sudah dekat menyentuh kulit. Buktinya, panitia utusan KPU, mulai dari tingkat desa hingga pusat, sudah berjibaku mempersiapkan dan memastikan seluruh proses dan hari pelaksanaan esok lancar, tertib, jujur, adil, dan hikmat. Genderang media sudah ramai memunculkan dan mencitrakan bakal calon jagoan dan lawan. Lembaga survei berbondong-bondong menayangkan elektabilitas bakal calon dengan segala embel-embel isu nya. Juga, yang paling mengharukan, beberapa orang asing banyak yang datang ke desa-desa dengan membawa pesan suci yang wajib bagi siapapun untuk menerima mereka dengan penuh rasa syukur.
Ada baiknya, momen ini terus kita rayakan dengan semangat penuh cinta sebagai bentuk NKRI harga mati kita. cinta tanah air kita. Indonesia merdeka.
Contoh saja kampung saya. Kami tengah hikmat merayakannya. Belakangan, sudah ramai tersebar nama-nama calon kepala daerah dan presiden berikut dengan partai dan programnya. Di beberapa warung kopi juga, sudah banyak pembicaraan dan debat politik ala orang kampung yang ngotot, penuh energi, dan menarik.
Namun, dunia tetaplah dunia dengan segala kekurangannya. Selalu saja ada yang merusak euforia yang sedang indah-indahnya ini. Seorang pengamat kacangan tingkat desa yang acuh tak acuh akan politik nyeletuk saat kami, para sekumpulan warga, tengah membicarakan prediksi calon yang bakal muncul.
"Weh, ribut calon ini, calon itu terus dari kemarin. Nanti juga kalau pejabat itu kepilih, mereka korupsi!" katanya dengan nada sinis. Setelahnya ia duduk, mengisap rokok dan mengepulkan asapnya ke langit tanpa dosa.
Sontak seluruh warga yang kumpul di situ tertawa dan mengiyakan celetukan si pengamat itu sambil membumbui ejekan-ejekan lain. Saya yang tengah mojok di tempat lain yang tak jauh dari situ tak ikut tertawa, hanya senyum sedikit tanda bahwa hal semacam itu tidak lucu dan tidak perlu ditertawakan.
Singkat cerita, saya lalu menyalakan rokok dan ikut nimbrung dengan bapak-bapak dan kaula muda itu. Saya kemudian mengutarakan amatan saya ke mereka layaknya seorang tamu di ILC.
"Tapi begini, menurut saya, menurut saya ini mah, pejabat itu memang harus korupsi."
Saya lihat ekspresi mereka ada yang kaget, ada yang sumringah, ada yang keberatan, ada yang sepakat, ada yang biasa saja, ada juga yang pulang karena istrinya minta antar ke pasar malam. Beginilah kira-kira rangkuman amatan saya dan diskusi politik senja hari itu.
Pejabat, dalam hal ini kepala daerah, memang harus korupsi. Sebelum saya membeberkan alasan logisnya, saya ingin menjabarkan data dari KPK pada tahun 2015. KPK mencatat ada 64 kasus korupsi yang menyeret kepala daerah se-Indonesia. Ini cuma kasusnya, bukan orang yang terjerat kasusnya. Lalu, ICW mencatat sepanjang tahun 2010 hingga Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Dua ratus lima puluh tiga. Catat!
Mengapa bisa sebanyak itu? Jawabannya cukup sederhana. Mereka sedang mengembalikan ongkos politik yang sudah dikeluarkan. Meskipun kita bisa menjatuhi stigma bahwa perilaku korupsi berhubungan dengan moral pelaku, alasan ongkos politik bagi saya jauh lebih masuk akal dan tentu saja bisa dihitung secara matematis.
Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, yang ini sempat ramai disinggung Prof Mahfud, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya sekitar 20-100 milyar. Sedangkan, pendapatan rata-rata gaji mereka di angka 5 milyar per periode. Coba bayangkan, defisit berapa banyak mereka jika duduk di kursi kepemerintahan dengan hati jujur, rendah hati, dan ceria?
Secara hitung-hitungan politik, jika si bakal calon atau calon berniat mencalonkan diri dengan jargon tolak politic money, tanpa ongkos sepeser pun misalnya, maka dipastikan ia akan kalah, bahkan sebelum pelaksanaan pemungutan suara dimulai. Kalau tidak percaya silakan dicoba. Jangan yang tinggi-tingi dulu, minimal nyalon kepala desa sana!
Lah dipikir saja, setingkat Pilkades, jagoan saya kemarin ludes kurang lebih 300 juta untuk biaya pendaftaran, wara-wiri dari pertama kali punya niat sampai final, cetak spanduk, meramaikan khazanah posko pemenangan, menyambut tamu, yasinan tujuh hari tujuh malam, konsolidasi politik, bayar dukun, dan serangan fajar.
Dari tiga calon yang siap memajukan desa saya, calon jagoan saya yang keluar ongkos 300 juta ini berada di urutan terakhir. Di kemudian hari, saya mendapat informasi bahwa calon jagoan saya hanya memberi serangan fajar puluhan ribu ke warga. Nilai ini kalah telak dibanding calon lain yang counter ratusan ribu. Tahu yang menang siapa? Jelas pemilik modal terbanyak dong!
Sekarang saya tanya, apakah dengan kasus di atas, kepala desa terpilih akan bersungguh-sungguh membangun desa jika menghitung biaya politiknya yang ratusan juta sedangkan gajinya hanya puluhan juta saja? Apakah kepala desa terpilih ini punya niat memajukan desa saya sampai ke Uzbekistan?
Omong-omong soal ongkos politik, nominal yang dipaparkan Litbang Kemendagri tersebut kalau dirinci memuat keperluan berikut ini: mahar politik (nomination buying) ke partai pengusung sebelum dicalonkan, jual beli suara (vote buying), ongkos politik kampanye, biaya setelah resmi menang. Ya, kali, menang nggak ada bancakan, nggak ada syukuran tujuh hari-tujuh malam, nggak ada jatah capek, nggak pawai sampai ke Alaska!
Kalau misalnya Anda adalah sosok yang kere tapi kharismatik, agamis, populis, klimis, dan dicintai banyak rakyat, tenang jangan khawatir. Ada mekanisme mahar investor yang siap membiayai pencalonan diri Anda dengan syarat jika menang, Anda harus mempersiapkan proyek untuk sang investor. Bagaimana, Anda tertarik?
Ironisnya, meskipun si calon sudah merogoh kocek sangat fantastis, belum cukup memuluskan jalan untuk bisa petangtang-tengteng di kursi pemerintahan. Jangan over confident. Tokoh yang ingin mengubah bangsa tak hanya Anda, loh! Biasanya ada 2 atau lebih calon yang bertarung. Di sini, keduanya akan sikut-menyikut menggunakan berbagai macam cara. Jika kurang populer, maka uang harus berbicara. Jika kurang populer dan kurang uang, gunakan kampanye merah, fitnah, framing, dan survei gadungan, misalnya.
Tetapi, lebih ironisnya, jika Anda populer, Anda tetap perlu uang untuk mengafirmasi kepopuleran Anda. Jika Anda cuma punya cara licik, Anda juga butuh uang untuk membiayai cara licik Anda. Beli suara butuh uang, memfitnah juga butuh media dan kepercayaan publik, itu juga butuh uang. Bikin survei gadungan, butuh uang juga. Nasib, nasib!
Jadi, dari tsunami fakta di atas, saya amat sangat memaklumi mengapa para pejabat kita pada korupsi. Bukan, bukan berarti saya setuju dengan tindak pidana maling ini. Maling ya tetap maling, apapun alasannya. Apalagi sudah korupsi triliunan, daerah yang dipimpin nir-perubahan.
Korupsi itu puncak pohon. Masalah utamanya yakni akar yang menopang pohon berdiri. Akarnya itu proses pemilu nya ini, loh! Pesta demokrasi ini! Ia begitu tersistem dan terstruktur sehingga menyebabkan para pengabdi bangsa harus mengeluarkan banyak ongkos politik untuk memajukan daerah mereka.
Masyarakat jelata nya juga sudah kepalang mendarah daging dengan uang panas lima tahunan ini, meski setiap tahun diobati dengan kegiatan anti korupsi di sekolah, kampus, dan balai desa.
Anehnya, mereka selalu uring-uringan jika kebijakan pemerintah merugikan mereka, pemerintah korupsi, dan tidak kebagian BLT. Di sisi lain, beberapa lainnya ada yang tetap teguh dengan prinsip nya untuk tidak menerima sepeser pun uang panas itu namun mendapat kerugian yang sama setelah sang calon duduk di kursi pemerintahan.
Intinya, jangan pernah percaya dengan organisasi mahasiswa daerah yang pasang spanduk stop politic money yang dipajang di jalan-jalan!!! Lah, kok penutupnya ini??
Comments
Post a Comment