Jubaedah
Sumber: @dandelion_1922
***
Koper
yang berisi lipatan baju, beberapa dokumen seperti paspor, kartu keluarga, dan
visa, serta beberapa gepok uang berjumlah tiga jutaan yang merupakan sisa gaji
terakhirnya menjadi TKW itu terpelanting dan menggelinding berpuluh-puluh meter
dari tempatnya kini mematung. Jubaedah terkejut-kejut lantaran ketika ia
membuka pintu rumahnya, Rosyidin, suaminya sedang melingkarkan tangannya ke
leher seorang perempuan dan menggerayangi tubuh perempuan itu. Tak hanya
Jubaedah yang tersentak, Rosyidin dan seorang perempuan yang sedang
digerayanginya pun ikut-kutan tersentak ketika tiba-tiba saja mendengar pintu
terbuka yang disusul bunyi nyaring sebuah benda terpental. Sontak Rosyidin
gelagapan. Ia kemudian lekas berdiri menghadap Jubaedah yang sedang mematung
dan berderai air mata lalu buru-buru menarik resleting celananya yang turun,
mengelap sisa pejuh yang bercecaran di selangkangannya dan mengait kancing
bajunya satu per satu dengan tergesa-gesa.
Perempuan itu pun, yang pada saat
pintu terbuka sedang terlentang dan mengeluarkan bunyi eluhan lantaran sekujur
tubuhnya digerayangi oleh Rosyidin, matanya terbelalak dan lekas merapikan
kutang dan bajunya yang berceceran di sembarang tempat. Sedang Jubaedah, masih
saja mematung, melotot tajam ke arah mereka berdua dengan mata yang merah
mendidih. Tubuhnya lemas-lunglai. Otot-ototnya seperti terbirit-birit melarikan
diri dari tubuhnya. Darahnya menjalar cepat ke ubun-ubun. Dadanya sesak seperti
ribuan ton batu mendekam di sana. Kerongkongannya kering kerontang seperti tak
ada kata-kata apapun nangkring di
sana. Kemudian tubuhnya limbung dan sekelebat gelap menyelimuti sepasang
matanya yang telah memerah itu.
***
Betapapun
Jubaedah—seorang perempuan berparas sendu, berkulit legam, dan lebih banyak
menghabiskan usianya dengan melamun itu—menangis hingga suaranya sampai
menirukan bunyi gelegar halilintar, angin puting beliung, atau debur ombak yang
menghujam lembaro—bebatuan besar di bibir pantai untuk menghalau ombak masuk ke
perkampungan, ayahnya Jumadil—seorang duda berumur kepala empat, buruh
serabutan, dan tukang mabuk kecubung di pos ronda itu—tak bakal mengurungkan
niatnya memberangkatkan Jubaedah, anak satu-satunya, untuk pergi ke Arab Saudi
menjadi pembantu rumah tangga. Keputusan itu sudah saklek, tak goyah digeser
angin, tak runtuh diterjang badai. Sebab, seperti kebanyakan anak-anak
perempuan dari keluarga miskin lainnya yang seusia Jubaedah di kampung itu,
menjadi pembantu ke Arab Saudi merupakan satu diantara dua pilhan yang mesti
dipilih selain dinikahkan paksa. Tetapi, seperti kebanyakan perempuan miskin lain
di kampung itu, Jubaedah sendiri menolak untuk memilih keduanya. Ia tak mau
menjadi budak di negeri nun jauh di sana apalagi dinikahkan paksa dengan
sembarang laki-laki yang tak tahu menahu asal usulnya atau tak pernah
terpikirkan sebelumnya bahwa laki-laki yang kelak seranjang dengannya pernah
ada di muka bumi ini.
Baginya, juga barangkali bagi
perempuan-perempuan miskin lainnya di kampung itu, memilih keduanya sama saja
memilih hidup tapi sengsara atau mati masuk neraka. Tetapi, tidak memilih salah
satu diantara dua pilihan sialan itu sama saja dengan menyerahkan hidup pada
kematian secepat mungkin. Dan pada akhirnya, seperti kebanyakan perempuan lain
di kampung itu, kedua pilihan tersebut selalu dan terpaksa dipilih meskipun
anak-anak perempuan menolaknya dengan cara paling halus sekali pun, atau
menolak dengan cara yang lebih ekstrem sekalipun. Misalnya berpura-pura
kesurupan atau berpura-pura sinting.
Konon, ayah Jubaedah, juga ayah-ayah
miskin lain di kampung itu terobsesi dengan seorang perempuan terkaya,
tersukses, tersohor, dan termasyhur di kampung itu. Siti Jumenah namanya. Sosok
perempuan yang menjadi simbol kekayaan dan kesuksesan seorang TKW di Arab
Saudi. Hartanya tak habis-habis, tinggi rumahnya hampir setara dengan tiang
listrik, emasnya bergelayutan di leher, tangan, kaki, kedua telinganya, dan
barangkali di payudaranya. Namanya menjadi semacam mantra. Setiap ucapannya
serupa dongeng tentang surga. Kisah hidupnya seperti seorang suci yang
diberkati. Hingga sampai anak-cucu keturunannya selalu dipuja-didamba laiknya
anak cucu keturunan seorang sultan meskipun suatu kali pernah digerebek warga
desa sebelah lantaran kepergok kumpul kebo di semak-semak.
Lalu, selain Siti Jumenah, satu lagi
perempuan yang menjadi pujaan hati orang-orang kampung itu adalah Nyi Rosimah.
Jika Siti Jumenah digelari sebagai sosok pembantu rumah tangga luar negeri
termasyhur sekampung—atau barangkali sedunia, beda halnya dengan Nyi Rosimah.
Ia digelari sebagai perempuan pintar pemikat hati dewan perwakilan rakyat yang
hartanya tak habis tujuh turunan. Setiap kata yang diucapkan Nyi Rosimah serupa
sabda. Gaya hidupnya menjadi kiblat bagaimana seharusnya perempuan hidup. Pola
tingkah lakunya seolah menjadi panduan mutlak cara hidup yang mulia. Dan anak
cucu keturunanya, seperti anak cucu keturunan Siti Jumenah, juga tak lepas dari
puja-damba orang-orang kampung meskipun pernah suatu kali, salah satu anak cucu
keturunannya dicari-cari polisi lantaran menjadi pengedar narkoba. Tetapi,
sebagaimana seorang tokoh termasyhur yang kemasyhurannya melambung tinggi nun
jauh di sana, sudah barang tentu kemasyhuran itu turun temurun sampai ke
keturunannya, tak peduli seburuk dan sebejat apa perangai anak-anak mereka,
namanya selalu harum dan selalu didamba-dipuja lantaran tertutup oleh kemasyhuran
orang tuanya. Barangsiapa yang berani, baik secara sengaja atau tidak sengaja,
menjelek-jelekkan anak cucu keturunan Siti Jumenah dan Nyi Rosimah, ia pasti
dicap pendosa dan terlaknat di mata orang-orang kampung.
Siti Jumenah dan Nyi Rosimah,
meskipun telah meninggal puluhan tahun silam, namanya masih tetap menjadi
kebanggan orang-orang kampung. Setiap orang yang menyebut namanya, niscaya
bergetarlah jiwa dan raga mereka, bergidiklah sekujur tubuh mereka, bercucur
deraslah keringat mereka. Kisahnya masih terus berdengung di pojok-pojok warung
kopi, pos-pos ronda, menjadi kisah motivasi penambah iman di
pengajian-pengajian, dan menjadi kisah
inspiratif di sekolah-sekolah. Dan, pekuburannya—yang terletak di ujung kampung, yang terjuluk
sebagai dua kuburan paling bergengsi sekampung lantaran hanya dua kuburan itu
lah yang bertembok batu bata dengan nisan besar lengkap dengan nama, tanggal
lahir, tanggal kematian, berikut jasa-jasanya semasa hidup, yang sudah barang
tentu berbeda jauh dengan kuburan orang-orang kampung biasa—menjadi keramat dan
selalu ramai didatangi orang-orang kampung untuk dimintai karamah bagi mereka
yang hendak menikah atau berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi pembantu rumah
tangga.
Bertahun-tahun setelah kematian Siti
Jumenah, namanya masih selalu dijadikan senjata para orang tua di kampung itu
ketika hendak memberangkatkan anak-anak perempuan mereka menjadi pembantu ke
Arab Saudi dan Nyi Rosimah, namanya selalu dijadikan contoh betapa bahagianya
seorang anak perempuan yang menikah dengan pilihan orang tua mereka. Sedangkan
bagi mereka—anak-anak perempuan miskin, namun pembangkang seperti Jubaedah dan
beberapa perempuan lain di kampung itu—yang menolak untuk berangkat ke Arab
Saudi atau menolak untuk dinikahkan paksa dengan alasan ingin melanjutkan
sekolah hanya akan menjadi bahan tertawaan orang-orang kampung. Sebab, sosok
siapa yang bisa dijadikan panutan bagi orang-orang kampung bahwa anak-anak
perempuan mereka yang sekolah tinggi bakal sesukses Siti Jumenah atau Nyi
Rosimah? Tak ada. Tidak ada!
Sebut saja kisah Romdanah, anak
tukang tambal ban yang memilih untuk melanjutkan sekolahnya dibanding menjadi
pembantu di Arab Saudi atau menikah dengan pilihan orang tuanya. Kisahnya
hingga kini menjadi lelucon bagi orang-orang kampung lantaran sosok Romdanah
mati dengan tetap membawa gelar guru honorer-nya hingga ke liang lahat. Semasa
hidupnya, tak ada satu pun, dari ujung jempol sampai ujung rambutnya, yang
layak dijadikan panutan dari sosok Romdanah. Harta orang tuanya habis untuk
biaya sekolahnya. Setelah lulus, ia menikah juga dengan seorang guru honorer
yang sampai ajal menjemputnya tak pernah sekali pun dilirik oleh Dinas
Pendidikan untuk diangkat menjadi seorang pegawai negeri sipil. Kehidupannya
terlunta-lunta, hutang di mana-mana, kedua anak perempuannya akhirnya terpaksa
berangkat menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi untuk melunasi
hutang-hutang Romdanah dan suaminya.
Coba pergilah ke pemakaman di
kampung itu. Pekuburan Romdanah dan suaminya ambles dan sudah tak berbentuk
laiknya sebuah kuburan. Bambu-bambunya tenggelam ke dasar, batu nisannya hilang
entah kemana, serta rumput-rumput ilalang bermekaran di sana-sini. Dan, mudah
bagi orang-orang kampung untuk memilih siapa diantara mereka yang dijadikan
panutan. Lihat saja bagaimana bentuk kuburannya. Dari bentuk kuburan, mereka
bisa menilai seberapa terhormatnya sosok itu. Maka, sia-sia rasanya, Jubaedah
mengurung diri di kamarnya untuk mogok makan, mogok mandi, mogok mencuci, mogok
masak, dan mogok-mogok lainnya hanya untuk menolak keputusan ayahnya untuk berangkat
ke Arab Saudi dengan alasan ingin melanjutkan sekolah. Selain nanti ayahnya
menjadi bulan-bulanan orang-orang kampung lantaran tak becus mendidik anak,
Jubaedah pun tentu saja bakal dijuluki sebagai seorang perempuan pembangkang
yang disumpah bakal bernasib sama nelangsanya dengan sosok Romdanah.
Sebenarnya, kisah Siti Jumenah, Nyi
Rosimah, atau si Romdanah hanyalah kisah-kisah usang yang sudah puluhan tahun
dirawat dan dituturkan ke setiap generasi demi generasi. Tentu saja, setiap
generasi mencoba peruntungan memilih panutannya masing-masing. Sampai sekarang,
belum ada contoh serupa yang bernasib sama seperti panutan mereka, baik Siti
Jumenah maupun Rosimah—sang legenda itu, meskipun berkali-kali kisah-kisah itu
diturun-temurunkan, dipuja-dambakan, atau dikeramatkan. Malah, para penganutnya
banyak yang bernasib tak pulang-pulang ke kampung halaman lantaran menjadi
budak permanen di Arab Saudi, ada juga yang malah makin melarat ketika
dinikahkan paksa, dan ada juga yang mati di tali gantungan lantaran membunuh
anak majikan seperti apa yang dialami Rusniti, ibunya Jubaedah. Juga
orang-orang yang memilih peruntungan dengan menyekolahkan anaknya
setinggi-tingginya. Tak jauh berbeda dengan pendahulunya, Romdanah. Para
sarjana-sarjana itu—khususnya sarjana-sarjana perempuan di kampung itu— selain
ijazahnya hanya digunakan sebagai pajangan ruang tamu, nasibnya pun paling keren
menjadi tukang penjaga loket bank atau pegawai di pabrik-pabrik yang berdiri di
dekat-dekat kampung itu yang kemudian tetap saja, anak-anak mereka nantinya
terpaksa dinikahkan atau diberangkatkan ke Arab Saudi menjadi pembantu untuk memenuhi
kebutuhan hidup seperti makan, jajan seblak, membeli kuota internet, bedak,
sepeda gunung, atau telepon keluaran terbaru.
***
Jubaedah masih mengurung dirinya di
pojok kamar selama dua hari satu malam tanpa makan, minum, dan mandi. Wajahnya
sampai pucat pasi, suaranya serak, perutnya keruyukan, kepalanya pening, dan
matanya sembab. Ia masih saja bersikeras untuk menolak keputusan ayahnya dan tetap
mempertahankan keinginannya untuk melanjutkan sekolah walaupun ia menyadari
sendiri bahwa keinginannya itu serupa melempar batu menembus langit. Tidak
mungkin. Tidak mungkin. Sekali lagi, tidak mungkin. Pikirnya. Bukan saja karena
ia seorang perempuan, tetapi sebenarnya yang menjadi penghalang paling besar
adalah lantaran ayahnya miskin. Jangankan untuk melanjutkan sekolah, ayahnya
mati hari ini pun, ia tak tahu bagaimana cara membayar tukang gali kubur untuk
menguburkan mayat ayahnya. Pekerjaan ayahnya yang hanya buruh serabutan itu
hanya cukup untuk makan dua kali sehari dan sisanya dibelikan kecubung untuk
mabuk-mabukan di pos ronda. Jangankan untuk membayar SPP, meminta lima belas
ribu rupiah untuk membeli kutang baru di pasar malam saja, ayahnya tak
menyanggupi.
Maka sebenarnya, pilihan paling aman
bagi dirinya adalah berangkat ke luar negeri untuk mengumpulkan pundi-pundi
uang yang kelak bisa Jubaedah gunakan untuk melanjutkan sekolah atau
menguburkan ayahnya. Tetapi, ia selalu ketakutan ketika mendengar hal-hal yang
berbau pembantu rumah tangga, TKW, atau Arab Saudi. Ia masih mengalami trauma.
Ia takut bernasib sama seperti ibunya, Rusniti. Sembari mendengarkan teriakan ayahnya yang
persis seperti bunyi harimau kelaparan itu serta bunyi pintu yang
digedor-gedor, ia masih saja menimbang-nimbang jalan hidup mana yang ia akan
pilih.
“Dah, kau jangan berpikir yang
tidak-tidak. Ayah melakukan ini untuk kebahagiaan kamu, Dah!” teriak ayahnya.
“Ayah bohong! Ibu ke Arab Saudi
tidak bahagia. Dia mati di tali gantungan. Apa kau ingin aku bernasib sama
dengan ibu?!” bantah Jubaedah dengan suara yang parau.
“Sudah, Dah, jangan kau ungkit itu
melulu. Ibumu sedang bernasib sial saja. Siapa tahu kau bernasib seperti Nyi
Siti Jumenah. Hidup kita kan setiap harinya mengundi nasib. Pikirkan itu, Dah!”
“Siapa orang kampung ini yang
bernasib sama seperti Nyi Siti Jumenah sialan itu. Itu hanya dongeng.”
“Tutup mulut mu, Dah! Kau nanti
dilaknat orang-orang kampung!” gertak ayahnya. Jubaedah diam.
“Keluarlah, Dah. Kita ini orang
miskin. Kau tak usah centil sok-sok-an mau kuliah segala. Untuk beli telur
sekilo saja, ayahmu ini tak mampu, apalagi untuk kuliah, Dah! Ayo keluar! Kau
mau mati konyol di kamarmu, Hah!? Kalau kau mati bagaimana ayah menguburkanmu?!
Kau mau dikubur seperti kucing?!”
Jubaedah masih diam.
“Aku ingin kerja di sini saja. Aku
tak mau ke Arab. Aku takut. Lagipula aku punya ijazah.”
“Kau mau kerja apa di sini? Kuli
panggul? Buruh pabrik? Buruh tani? Kau ini perempuan! Memang kau berani
merantau ke kota? Kau hanya lulusan Aliyah kampung. Mereka yang lulusan sarjana
saja banyak yang luntang-lantung. Kau tahu tidak, Dah, ijazah-ijazah semodelmu
itu banyak yang digunakan untuk bungkus gorengan, Dah.”
Jubaedah diam.
“Atau begini saja. Kemarin ayah
sempat ngobrol dengan Mang Romli. Kau tahu anaknya, si Rosyidin itu? Bagaimana
kalau kau menikah saja dengannya kalau kau memang tak mau ke Arab? Meskipun si
Rosyidin itu bodoh, dia rajin mencari uang.”
Jubaedah masih diam. Tetapi ia
kemudian berpikir mengenai pilihan kedua dari ayahnya. Betapa ia juga
memikirkan kata-kata ayahnya bahwa hidup ini adalah undian nasib. Daripada ia
memilih menghilangkan rasa traumatiknya dengan memilih berangkat ke Arab yang
bisa jadi ia akan bernasib sama dengan ibunya, barangkali menikah dengan
Rosyidin adalah pilihan yang lumayan baik baginya. Pikirnya. Ia juga mengenal
Rosyidin yang merupakan seorang laki-laki pekerja keras, pendiam, dan tak
banyak tingkah. Barangkali ia bisa cocok hidup bersama Rosyidin.
“Bagaimana, Dah? Kenapa kau diam?
Kau mati?
“Baiklah.”
“Baiklah apa?”
“Aku mau menikah dengan Rosyidin.”
“Serius, Dah? Kalau begitu
keluarlah. Ada telur dadar di dapur. Makanlah, lalu mandi. Nanti kita bicarakan
ini dengan Mang Romli.”
Kemudian keluarlah Jubaedah dari
kamarnya dengan terhuyung-huyung. Ayahnya menyambutnya di depan pintu dengan
senyum sumringah. Sebab sebentar lagi, anak semata wayangnya akan menikah. Itu
artinya bebannya untuk memberi makan, membeli sabun mandi, membeli pembalut,
membeli kutang akan dibebankan kepada suaminya, si Rosyidin.
***
Entah untung atau buntung, tak ada
angin tak ada hujan, sepulang kerja, Rosyidin tiba-tiba ditawari menikah oleh
ayahnya. Ia—selayaknya laki-laki normal lainnya—sebenarnya memendam keinginan
untuk menikah. Tetapi karena ia tipikal orang yang pemalu dan pendiam, jadilah
di usianya yang menginjak dua puluh lima tahun itu, belum ada satu pun
perempuan yang ia dekati atau mendekatinya. Rosyidin pun menerima dengan
pasrah-pasrah saja lantaran inilah barangkali kesempatannya untuk menikah
sembari semesta kepalanya membayangkan bersetubuh dengan seorang perempuan di
ranjang sebagaimana yang sering ia lihat di film-film porno atau cerita-cerita
kawan kerjanya yang sudah lebih dulu menikah.
Sebulan kemudian, pesta
pernikahannya digelar dengan amat sederhana dan ia pun resmi menjadi seorang
suami dari seorang perempuan berusia delapan belas tahun. Ia pun tinggal di
rumah Jubaedah bersama ayah mertuanya, Jumadil.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan,
empat bulan usia pernikahan Jubaedah dan Rosyidin tampak masih adem-ayem saja. Rosyidin tetap menjalani
kegiatan rutinnya. Berangkat kerja pukul setengah delapan dan pulang pukul
empat sore. Yang menjadi pembeda dari kehidupan sebelumnya adalah ia memiliki
istri. Itu artinya ada yang mengurusi segala keperluannya, ada yang memasak
untuk makannya, ada yang mencuci semua pakaiannya, ada yang memijit tubuhnya
ketika pegal-pegal, ada tempat berkeluh kesah untuk bercerita, dan ada tempat
untuk mencurahkan nafsunya dan tidak lagi melakukan ritual bermain sabun atau
memilin-mengusap kelaminnya sendiri sebelum tidur seperti yang biasa ia
lakukan. Begitupun Jubaedah. Baginya, memasak, mencuci, bersih-bersih rumah,
memijit ayahnya adalah kegiatan yang lazim ia lakukan. Yang baru adalah ia
memilikii suami di mana kegiatan malamnya menjadi bertambah yaitu mengangkang
di hadapan suaminya.
Empat bulan usia rumah tangga
Jubaedah bersama Rosyidin, hidupnya, baik dari sisi kebahagiaan ekonominya
maupun kebahagiaan ruhaniah-nya agak sedikit membaik. Rosyidin sangat
menyayanginya dan rutin memberinya nafkah materi dan juga rutin memberi nafkah
batin—setiap hari. Tak hanya Jubaedah yang agak sedikit membaik kehidupannya,
begitupun Jumadil, ayahnya, ayah mertua Rosyidin, yang juga ikut kecipratan
uang bulanan Rosyidin, memanfaatkannya untuk menambah jatah kecubungnya dan
jadi sering mendatangi tempat pelacuran untuk menumpahkan hasrat terpendam yang
sebelumnya hanya ada dalam angan-angannya belaka. Lantaran kebiasaan ini,
Rosyidin lambat laun kesal dan jengkel dengan perangai ayah mertuanya yang
makin hari, kelakuannya makin seperti seorang raja di rumah itu. Makan tinggal
makan, tidur seenaknya, suruh ini-itu, dan rutin meminta uang. Hingga pada
suatu hari, Rosyidin mulai berubah sikapnya. Ia jadi lebih mudah tersulut
emosinya, sering telat pulang ke rumah serta lebih senang berlama-lama di
warung kopi. Dari warung kopi itulah, ia banyak dinasihati oleh orang-orang
kampung untuk lebih baik berpisah tempat tinggal dengan ayah mertuanya dan
membangun rumah sendiri bersama Jubaedah. Namun, Rosyidin menyadari bahwa
sebagai seorang buruh pabrik yang gajinya hanya dua juta lima ratus ribu rupiah
sebulan itu tentu saja tak bakal mungkin bisa membeli sepetak tanah dan
mendirikan bangunan di atasnya. Ia kemudian terngiang-ngiang dengan nasihat dari
salah satu orang kampung untuk membujuk Jubaedah berangkat ke Arab Saudi. Karena
selain cara itu atau cara menggelapkan dana desa, warga kampung itu tak bakal
mungkin bisa membangun rumahnya sendiri. Sebab sepahit-pahitnya berumah tangga,
kata orang-orang kampung itu menasihati, akan jauh lebih pahit apabila masih
berada di satu atap yang sama dengan mertua. Sebagai orang yang jarang nongkrong, nasihat itu ia telan
mentah-mentah dan menganggapnya seperti sebuah titah yang turun dari langit.
Benarlah,
di suatu sore sepulang kerja, Rosyidin menghampiri Jubaedah yang sedang
memanaskan makanan. Ia mengajaknya duduk di belakang rumah untuk membicarakan
niatnya pada Jubaedah.
“Tapi, Kang, kau tahu sendiri kalau
aku trauma dengan Arab Saudi. Ibu digantung di sana, Kang. Bukannya aku sudah
menceritakan soal itu dan kau berjanji untuk tidak menyuruhku berangkat ke
sana, sesusah apapun hidup kita. Kau ingat itu kan, Kang?" ujar Jubaedah tak
menyangka bahwa suaminya akan membujuk ia untuk berangkat ke Arab Saudi. Ia
begitu kecewa. Ia merasa bahwa suaminya tak jauh berbeda dengan ayahnya, juga
kebanyakan laki-laki lain di kampung itu. Ia merasa bahwa ia telah keluar dari
kandang harimau, tetapi di hari itu juga, ia seperti masuk lagi ke kandang
buaya.
“Iya, Neng, aku mengerti. Tetapi kau
tahu sendiri bahwa hidup berumah tangga bersama mertua itu tidak enak. Ini demi
kebahagiaan rumah tangga kita, Neng.”
Jubaedah diam. Dadanya sesak. Matanya
seperti memaksa air untuk mengguyur tanah sederas-derasnya detik itu juga. Jika
sebelumnya ada satu pilihan lain untuk menghindari pemberangkatannya ke Arab
Saudi yaitu menikah dengan Rosyidin, kali ini tak ada pilihan lain selain
menuruti permintaan suaminya dengan mempertaruhkan rasa takutnya. Sebab jika ia
menolak, melihat dari gelagat suaminya akhir-akhir ini, rumah tangganya akan
menemui malapetaka. Dan itu tentu saja satu hal yang tak Jubaedah inginkan.
“Tidak lama, Neng. Dua tahun saja.
Nanti kita kumpulkan gajimu dan kita gunakan untuk membuat rumah di seberang
lapangan bola sana.”
Dengan berat hati, akhirnya Jubaedah
menerima permintaan Rosyidin untuk berangkat ke Arab Saudi. Ia mengorbankan
rasa takutnya demi cita-cita mulia Rosyidin—juga tentu saja cita-citanya, untuk
membangun rumah tangga yang bahagia bersama Rosyidin. Dan Jumadil, ayahnya,
merasa senang sekaligus juga sedih mendengar kabar itu. Senang lantaran ia
memiliki harapan untuk anaknya bahagia seperti Siti Jumenah. Sedih karena dalam
upaya pengundian nasib anaknya ini, ia takut anaknya bernasib sama seperti
istri tercintanya, Rusniti, yang mati di tali gantungan Arab Saudi
***
Setelah Jubaedah terbang ke Arab
Saudi, Rosyidin kembali ke kehidupan semulanya sebelum menikah dengan Jubaedah.
Berangkat kerja pukul setengah delapan. Pulang pukul empat sore. Mengurung diri
di kamar sembari membayangkan wajah perempuan sembari mengusap-usap kelaminnya
sendiri untuk dapat tertidur pulas. Begitu terus menerus, setiap hari, seperti
biasa. Bedanya, sebelum menikah, perempuan yang Rosyidin bayangkan bervariasi.
Kadang tetangganya, kadang tukang jamu gendong, kadang tukang nasi uduk di
pengkolan kampung, kadang sekretaris bos di pabrik, kadang bibi-nya sendiri,
atau kadang perempuan lain yang masih ia ingat bagaimana bentuk wajah dan
tonjolan payudaranya. Tetapi kali ini, Rosyidin membayangkan Jubaedah seorang.
Ia jadi rindu dengannya. Pada tutur katanya yang lembut itu, pada masakannya
yang gurih nan enak itu, pada pijitannya yang membikin merem melek itu, dan
tentu saja pada cumbuan mesra dan pelukan yang penuh nafsu itu. Semua
kenangan-kenangan itu berputar-putar setiap malam di kepalanya. Setelah
Jubaedah mendapat izin dari majikannya untuk berkomunikasi dengan keluarganya,
hampir saban malam Rosyidin meneleponnya sembari tanganya memilin-mengusap
kelaminnya sendiri.
“Bagaimana kau rindu denganku atau
tidak, Neng?”
“Rindu, Kang.”
“Apa momen yang paling membuat kau
rindu, Neng?”
“Makan sepiring berdua sembari
memandangi semak-semak di belakang rumah.”
“Hanya itu saja?”
“Jalan-jalan di pinggir sungai sambil
lihat ikan-ikan sekarat karena limbah.”
“Terus?”
“Minum kopi pagi-pagi di depan rumah
sambil lihat ayam mengorek-ngorek tanah.”
“Terus?”
“Bercumbu denganmu.”
“Aku juga. Kalau kau pulang, nanti
kita coba gaya baru.”
“Apa itu kang?”
“Gaya enam puluh dua. Ah”
“Baiklah. Ah”
Tetapi tak ada yang tahu bagaimana nasib
Jubaedah di sana—di Arab Saudi sana. Lantaran Jubaedah pun tak mau membikin
orang-orang di rumah cemas, maka ia memilih untuk tidak menceritakan apapun
kecuali yang enak-enak saja. Padahal ia sering kali dibentak-bentak, dilempari
sepatu oleh majikan perempuan, hampir diperkosa oleh keponakan laki-laki
majikan, disuruh menungging majikan laki-laki, dan segala macam penderitaan yang membikin ia selalu menangis di pojok kamar setiap malam. Dan,
kebanyakan orang-orang rumah memang tak begitu risau selama mereka masih dapat
membeli beras, lauk pauk, baju baru, telepon baru, motor baru, membangun rumah,
membeli perabotan, dan perhiasan dari hasil kiriman setiap bulan. Begitupun
dengan Rosyidin dan Jumadil. Rosyidin tak risau dengan nasib Jubaedah, ia hanya
rindu bersenggama. Jumadil juga tak risau dengan anaknya, ia hanya risau
apabila Rosyidin—menantunya yang sialan itu, yang semenjak tak ada Jubaedah
jarang pulang ke rumahnya dan memberinya uang itu—tak memberikan jatah kiriman
anaknya kepadanya. Karena itulah, Jumadil jadi jengkel dan suatu ketika mengadu
kepada Jubaedah dengan membikin-bikin cerita karangan bahwa Rosyidin doyan
menghambur-hamburkan uang, doyan mabuk-mabukkan, dan doyan main perempuan.
Mulanya Jubaedah tak mempercayai omong kosong ayahnya, tetapi lambat laun,
manusia biasa seperti Jubaedah, akhirnya terhasut juga oleh ayahnya.
“Kang, cobalah kau berhenti untuk
buang-buang uang, mabuk-mabukkan, dan main perempuan.”
“Kau bahas itu lagi, Neng? Jangan
dengarkan ayahmu yang keparat itu. Dia hanya tak mendapat jatah kirimanmu.
Mangkanya dia memfitnahku. Lama-lama kubunuh ayahmu itu!”
Pertengkaran-pertengakaran kecil itu
lambat laun semakin membesar, kemudian mengecil lagi, kemudian membesar lagi,
begitu seterusnya. Sesekali Rosyidin memang mengunjungi rumah mertuanya. Bukan
lantaran ia menghormatinya dan menjenguknya. Tetapi ia ingin menyumpal mulutnya
untuk berhenti menuduh dirinya bertingkah yang tidak-tidak dan memastikan bahwa
malaikat maut sudah bersedia menjemput ayah mertuanya. Sebulan, dua bulan, ayah
mertuanya diam, namun ketika persedian kecubung dan kelaminnya sudah kelojotan
sedangkan ia tak memiliki uang lebih, mulutnya kembali berceracau menebar
fitnah kepada Jubaedah. Hingga dua tahun sudah Jubaedah di Arab Saudi dan
sebulan lagi tenggat waktu kontraknya habis, kabar buruk menimpanya. Ia tak
diperbolehkan pulang dan harus, mau tidak mau, menambah dua tahun lagi menjadi
pembantu di sana. Kalau Jubaedah menolak, ia akan diperkarakan karena melanggar
kontrak kerja dengan majikannya. Mulanya Jubaedah menolak dan sempat melawan.
Tetapi, demi rumput ilalang yang bergoyang, Jubaedah adalah perempuan dari
negeri tertinggal yang berada di negeri suci nan mulia, negerinya para nabi.
Sekuat apapun ia melawan, ia pasti kalah dan harus tetap menurut kalau tak
ingin lehernya menggantung di tali gantungan dan ditonton banyak orang berjubah
dan berjenggot. Kabar ini tentu saja membikin Rosyidin terpukul. Dan, Jumadil,
ayahnya meninggal lantaran terkena serangan jantung. Rosyidin yang sudah dua
tahun ini menahan gejolak nafsu yang sudah berada di ubun-ubun, harus
meredamnya kembali dengan sekuat tenaganya. Ia jadi sering uring-uringan. Doyan
kelayaban malam-malam. Suka mabuk-mabukan Rosyidin juga mencurigai bahwa
Jubaedah bermain api dengan orang Arab.
“Kau pasti sudah sering tidur
seranjang dengan majikanmu kan!? Mengaku saja perempuan sialan!”
Jubaedah hanya menangis.
“Ayo mengaku!”
Tangis Jubaedah semakin nyaring.
Telepon ditutup.
Saking
tak kuatnya ia mengontrol gejolak nafsunya, Rosyidin yang mulanya tak berani
mencoba meniduri perempuan-perempuan di pelacuran, kini, lantaran juga terhasut
oleh kawan-kawannya, ia jadi beringas melebihi almarhum ayah mertuanya. Ia
hampir setiap malam mendatangi tempat itu untuk bergonta-ganti pasangan dan
bergonta-ganti gaya. Dari pelacur yang kelas ekonomi hingga pelacur kelas
kakap, semua sudah pernah ia ajak untuk bermain gaya enam dua—gaya yang ingin
ia peragakan dengan Jubaedah. Tetapi, ia sudah masa bodo dengan Jubaedah
seolah hasratnya tak ada setetes pun untuk istrinya. Uang kiriman istrinya
ludes tak bersisa. Hingga puncaknya adalah ketika ia sedang asyik mencumbui
perempuan ke dua ribu delapan ratus tujuh puluh, istrinya, Jubaedah pulang dan
memergokinya.
***
Barangkali, apa yang almarhum
Jumadil— yang entah sedang di panggang di neraka atau sedang mabuk kecubung di
surga—katakan itu benar bahwa hidup adalah pengundian nasib. Dari hasil
pengundian nasib itu, istrinya mati digantung di tali gantungan Arab Saudi.
Jumadil mati lantaran terkena serangan jantung mendengar anaknya tak
boleh pulang dari Arab Saudi. Anaknya, Jubaedah, menjadi gila lantaran sepulang
dari Arab Saudi, suaminya bermain serong dan gajinya selama empat tahun di Arab
Saudi ludes dihabiskan Rosyidin untuk mabuk-mabukkan dan main perempuan. Dan,
Rosyidin mati lantaran dicekik dan perutnya ditusuk-tusuk Jubaedah yang sinting.
“Hahaha. Tolong bangun kuburanku
melebihi tingginya kuburan orang-orang keparat ini. Aku lebih terhormat
daripada mereka. Hahaha!” ujar Jubaedah sembari melempar-lemparkan lembaran
uang kertas di kuburan Nyi Siti Jumenah dan Nyi Rosimah, sang legenda itu.
Comments
Post a Comment