Pendidikan dalam Film Snowpiecer
Setelah saya menonton Parasite dan terpukau karenanya pada pertengahan bulan Februari lalu, saya menjadi penasaran dengan film-film garapan sutradara kenamaan asal Korea Selatan, Bong Joon-Ho. Film besutan beliau lainnya yang kemudian menjadi daftar favorit saya ialah Snowpiecer.
Film dengan genre fiksi ilmiah distopia bercampur adventure-action ini memiliki premis yang—menurut penikmat film kelas awam seperti saya ini—cukup unik. Sebuah dunia yang berjalan di dalam gerbong kereta. Sistem pemerintahan, sekolah, pesta, rekreasi, belanja, rebahan, ngudud, hingga pembagian bantuan langsung tunai terjadi di dalam sebuah kereta. Film ini tak hanya menyuguhkan hiburan dari akting para aktor dan aktrisnya yang memukau, tetapi sinematografi, aksi, makna filosofis, dan penggambaran realitas sosialnya membanjiri sepanjang film yang berdurasi 126 menit itu.
Film Dibuka dengan permasalahan pemanasan global (global warming) yang mencapai puncaknya pada Juli 2014. Sejumlah ilmuwan yang mencoba mengatasinya kemudian menemukan formula bernama CW7. Para ilmuwan tersebut mengklaim bahwa formula itu dapat menjadikan cuaca panas menjadi dingin. Namun yang terjadi setelah CW7 dilepaskan ke atmosfer, bumi menjadi membeku dan pada tahun 2031 kehidupan di bumi nyaris punah dan tak bisa ditempati lagi meskipun sekadar numpang pipis atau mandi junub. Akhirnya, manusia dan spesies lain yang berhasil selamat dari kiamat besar tersebut harus hidup dalam gerbong kereta lokomotif pemecah es yang berkeliling, entah sampai kapan, yang bernama Snowpiecer.
Uniknya, setiap gerbong dalam kereta tersebut berisi orang-orang yang dicirikan hierarki kehidupan sosial masyarakatnya. Gerbong depan hingga tengah ditempati oleh manusia-manusia kelas atas dan menengah yang didalamnya terdapat fasilitas lengkap seperti makanan yang enak, tidur yang nyaman, pendidikan yang bagus, air bersih, listrik, kemananan, dan hiburan yang lengkap. Sedangkan gerbong terakhir, gerbong paling belakang, diisi oleh rakyat jelata. Mereka diberi makan setiap harinya dengan blok protein yang cara pembagiannya persis sama seperti pembagian bantuan langsung tunai, yang kemudian belakangan diketahui bahwa makanan tersebut dibuat dari kecoa yang dihaluskan. Di gerbong belakang tidak ada pendidikan formal, tempat tidur yang nyaman, listrik, air bersih, apalagi diskotik. Siapapun, dari kalangan jelata ini yang berani merangsak maju ke gerbong depan, segerombolan PETUGAS KEAMANAN semacam ya, polisi atau tentara gitu, telah siap menjadi malaikat maut buat mereka, buat para penghuni gerbong belakang itu, para rakyat jelata itu. Karena kekejaman yang dirasakan oleh penghuni gerbong belakang ini, sang pemeran utama, Curtis yang dibintangi oleh Chris Evans yang dipercaya sebagai pemimpin gerbong belakang bersama rakyat jelata lainnya berusaha melakukan revolusi untuk mengambil alih mesin pengendali kereta dari tangan penguasa bernama Wilford, si tiran plontos yang dibintangi oleh Ed Haris.
Film yang telah berhasil mendapat kritik positif dari para kritikus film dan meraup rating 7,1/10 di ImdB dan telah menyabet beberapa penghargaan bergengsi ini, berhasil menyuguhkan imajinasi tentang sistem kejam kapitalis yang menjadi kiblat sistem ekonomi-politik di hampir seluruh penjuru dunia hari ini. Seluruh fasilitas, alat produksi, dan instrumen dikuasai oleh segelintir orang. Mereka, si kelas atas itu, menciptakan surga buatannya sendiri di dunia yang disulap ke dalam gerbong kereta yang bukan saja mereka hidup dengan makanan dan pemukiman yang lebih baik, tetapi menguasai seluruh ekosistem yang mirip seperti di bumi—tempat banyak rakyat jelata berkeluh kesah ini. Sedangkan rakyat kecil nan jelata nan sengsara, di dalam film ini, adalah serupa penghuni bumi kebanyakan yang hidup-segan-mati-tak-mau. Dunia gerbong belakang, tempat rakyat jelata tinggal, bak neraka buatan yang nyaris sepanjang hari,siksaan demi siksaan datang bertubi-tubi. Mereka hanya memiliki harapan fundamental: Mengambil alih mesin pengendali kereta dan menikmati hidup yang layak di surga buatan orang dari kelas atas atau duduk, diam, berdoa kepada Tuhan YME untuk kelak di surga sungguhan nanti, ada tujuh bidadari, sungai yang mengalir, harta yang melimpah, kesenangan yang tak ada habisnya. Bong Joon-Ho, dalam filmnya ini, mampu menyuguhkan ekosistem-mini post-apocalyptic bagaimana pertarungan si miskin dan si kaya, si penghuni gerbong depan dan gerbong belakang, bertahan hidup pasca kehancuran dunia yang dibuat oleh si homo sapiens sendiri.
Satu hal yang paling mengusik kenyamanan saya dalam film ini adalah bagaimana pendidikan diperlakukan. Pendidikan, dalam film ini, digunakan sebagai alat propaganda dan legitimasi kekuasaan tiran Wilford—sang penguasa mesin pengendali kereta yang tinggal di gerbong paling depan kereta. Adegan ketika Curtis berhasil menyeruak masuk ke gerbong Taman Kanak-Kanak. Pada adegan itu, anak-anak sedang diajarkan mengenai bagaimana jasa mulia Wilford dalam menyelamatkan kehidupan mereka dan dunia. Wilford bak dewa yang mesti diagungkan dan disembah. Sang guru, yang sepertinya bukan guru honorer itu, mengajarkan bagaimana cara berterima kasih kepada Wilford, sang penguasa, yang telah menciptakan mesin pengendali kereta dan memindahkan umat manusia dari bumi yang telah membeku ke dalam sebuah gerbong kereta di mana segala fasilitas yang ada di bumi, ada pula di sana. Sang guru juga menegaskan suatu kisah kepada para siswa tentang 7 pemberontak yang dikubur dan membeku di luar kereta. Siapapun yang berani memberontak seperti 7 pemberontak sebelumnya akan bernasib sama. Lagu-lagu, kebiasaan, yel-yel, mata pelajaran, soal yang diujikan dibuat untuk melegitimasi kekuasaan politik Wilford, berulang-ulang terus diajarkan dari generasi ke generasi. Para anak harus menanamkan ke dalam diri mereka bahwa Wilford adalah pahlawan. Wilford adalah harga mati. Melawan kekuasaannya adalah kejahatan. Pada adegan ini, yang membuat saya terenyak adalah saat Mason, sang menteri Wilford, yang pada adegan tersebut berhasil di sandera oleh Curtis dan kawan-kawan memperkenalkan rakyat penghuni gerbong belakang kepada anak-anak. Anak-anak menyebut mereka, penghuni gerbong belakang itu, dengan sebutan kotor, bodoh, dan jahat.
Pendidikan di dalam Snowpiecer, dijadikan sebuah alat pembentukan dunia kereta yang menjadi culture focus sang penguasa. Apa yang diajarkan adalah apa yang mendukung kelangsungan dan stabilitas kekuasaan Wilford. Pendidikan menjadi alat melanggengkan dominasi Wilford sebagai pahlawan dan penguasa kereta tersebut. Pendidikan menjadi doktrin sejarah tunggal dunia kereta Wilford. Artinya, pendidikan akhirnya mempertahankan kekuasaan Wilford, mempertahankan penderitaan rakyat gerbong belakang, dan mempertahankan sistem yang jomplang. Dan jalan satu-satunya yang bisa rakyat gerbong belakang lakukan, yang tak mengenyam pendidikan itu, adalah revolusi. Membuka gerbong demi gerbong kelas dan mengambil alih mesin pengendali dan mewujudkan kehidupan yang jauh lebih baik dan sejahtera secara merata—meskipun di dalam kereta. Doktrin pendidikan yang melegitimasi kepahlawananan penguasa Wilford dan didukung oleh militer yang patuh yang menjaga setiap gerbongnya adalah bentuk diktator yang secara gamblang ditampilkan dalam film ini.
Dalam adegan menjelang berakhirnya film, saat Curtis telah berhasil menerobos ke gerbang paling depan dan bertemu langsung dengan Wilford, ia beralibi bahwa kehidupan memang sudah semestinya berjalan demikian agar adanya keseimbangan populasi dan sumber daya alam. Si kaya dan si miskin sudah seharusnya berada di tempat yang berbeda. Dalam adegan lain pun, sang tangan kanan Wilford, si Mason itu, si menteri itu, menggunakan logika diktatornya untuk melegitimasi kekuasaanya. Si Mason itu berujar kepada para revolusioner, bahwa sepatu seharusnya memang berada di bawah dan sepatu tak akan mungkin naik ke kepala. Benarkah demikian? Maksudnya, apakah analogi diktatorian tersebut berlaku untuk manusia yang notabene bersifat dialektis dan masing-masing individunya memiliki potensi yang unik? Apakah sebagian manusia memang sudah seharusnya lebih rendah dari sebagian lain? Atau apakah hanya karena kesempatan saja yang berbeda? Dan yang paling penting, apakah pendidikan berperan dalam langgengnya kesenjangan kelas ini?
Jika kita bergeser ke Brazil dan mengunjungi pemikiran Paulo Freire mengenai filsafat pendidikannya, kita akan mendapati suatu khazanah tentang bagaimana seharusnya pendidikan berlaku. Ia, si Freire, dalam buku Politik Pendidikan menyebut bahwa dunia sebagian besar dihuni oleh manusia menderita, sementara sebagian yang lain menikmati hasil dari penderitaan orang lain dengan cara-cara tidak adil, dan sialnya, kelompok yang menikmati ini justru bagian dari minoritas umat manusia. Kondisi tidak berimbang ini, Freire sebut sebagai “Situasi Penindasan”. Padahal katanya, segala penindasan, apapun nama, bentuk, dan alasannya, merupakan tindakan tidak manusiawi. Situasi penindasan ini akhirnya bermakna ganda di mana sebenarnya keduanya sama-sama menderita. Mayoritas yang menderita dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (Submerged in the culture of silence) dan minoritas yang menikmati menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati nurani dan memaksakan penindasan bagi sesamanya—dehumanisasi. Tapi apa peduli penindas tentang hati nurani? Dan juga, apa peduli si tertindas tentang kesadaran jika ia sendiri tak tahu ketertindasannya?
Maka, kata Freire, pendidikan seharusnya menjadi alat pembebas dari situasi penindasan. Melalui pendidikan, (Lihat lebih lengkap filsafat Freire di Pendidikan Kaum Tertindas dan Politik Pendidikan) minoritas berupaya membebaskan dirinya dari sikap menindas dan menyadari adanya dehumanisasi yang mereka lakukan. Sedangkan mayoritas menyadari adanya penindasan yang terjadi dan membantu penindas untuk terbebas dari perilaku menindasnya, bukan malah balik menindas setelah mendapat tempat. Melalui pendidikan, revolusi tak boleh menjadi ajang “penindas bertukar tempat” yang semula mayoritas sebagai seorang yang tertindas, kemudian setelah merebut tempat, mayoritas menjadi penindas baru untuk minoritas yang bertukar tempat menjadi yang tertindas, atau melahirkan mayoritas baru untuk ditindas. Pendidikan yang membebaskan, kata Freire, harus berpangkal pada upaya memperjuangkan humanisasi dan menendang jauh-jauh dehumanisasi dalam wujud seperti apapun.
Kalau saja Freire masih hidup dan kemudian menonton film garapan Bong Joon-Ho ini, barangkali ia akan bergegas membuka ponselnya, masuk ke akun Twitternya, dan menulis twett, "Education does note change the world. Education changes people. People change the world."
Comments
Post a Comment