Alasan Saya Membuka Privasi Status WA ke Semua Kontak Saya
****
Seorang kawan dekat sempat bertanya kepada saya suatu ketika mengenai mengapa status WatsApp saya tidak di privasi untuk orang tua, keluarga, calon mertua, dan dosen-dosen seperti apa yang kawan saya itu lakukan dan kebanyakan kawan lain.
Saya pun hanya menanggapi sekenanya pertanyaan kawan saya itu. Sebab suasana pada saat itu tak memungkin untuk terjadinya atmosfer perdebatan yang epik laiknya perdebatan Dandy Laksono dengan Budiman Sujatmiko dalam sesi #DEBATKEREN yang disiarkan oleh channel YouTube Alinea TV.
Sekadar informasi, kawan saya bertanya demikian itu lantaran saya sering kali memposting hal-hal yang barangkali menurutnya atau menurut sebagian orang adalah kurang pantas untuk dilihat oleh orang tua, kerabat dekat, dan terlebih lagi dosen-dosen.
Saya kadang memposting sedang jedag-jedug dengan latar musik DJ dan latar gambar gelap, nongkrong sambil nyanyi-nyanyi tengah malam, main gaple, memposting bungkus rokok plus kopi hitam dengan caption yang tidak mencerminkan generasi yang paham akan nilai-nilai Islam dan Pancasila, serta segenap postingan yang tidak penting dan kurang pantas lainnya.
Maka melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan alasan saya yang bagi saya sangat logis dan filosofis ini. Tentu saja, harapan saya, kawan saya itu membaca tulisan ini dan kemudian tergerak hatinya untuk mentraktir saya lantaran sudah terjawab kegelisahannya selama ini. Siapa tahu.
Pertama, saya memahami tentang apa yang menjadi ranah privasi dan apa yang menjadi ranah publik dalam kehidupan saya pribadi. Bagi saya, keluarga saya, permasalahan hidup saya, permasalahan asmara saya, nominal pendapatan saya, keyakinan agama saya, adalah salah satu dari sekian banyak privasi saya yang tidak mungkin saya tampilkan ke media sosial. Orang-orang, yang tidak cukup dekat mengenal saya, tak mesti mengetahui itu semua dan saya tidak akan memposting sesuatu hal yang bagi saya itu tak boleh diketahui oleh siapapun, termasuk orang tua saya. Maka, saya tak perlu repot-repot membatasi siapa orang yang dapat melihat status WatsApp saya. Sebab, apa yang saya posting kebanyakan hal-hal yang bersifat boleh dilihat oleh publik, bukan privasi saya.
Kedua, saya percaya bahwa kontak WatsApp saya adalah orang-orang yang cerdas dan dapat berpikir dengan bijak. Toh, kalau pada akhirnya tidak demikian, saya tidak punya urusan apapun dengan cara berpikir mereka dalam memandang sekelebat diri saya dari postingan saya itu. Lah masa, sekelas dosen misalnya, ketika melihat postingan saya yang sedang nongkrong dan nyanyi-nyanyi tengah malam langsung menuduh saya tidak baik. Kan tidak mungkin. Mereka kan orang cerdas. Mereka kan membaca banyak jurnal dan merupakan seseorang yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Kalau pun pada akhirnya calon mertua saya mengurungkan niatnya untuk tidak merestui saya dengan anaknya lantaran status WatsApp saya yang jarang menampilkan diri sedang di kantor pemerintahan, saya sepertinya harus bersyukur lantaran telah dijauhkan dengan calon mertua yang perangainya sering saya lihat di sinetron azab yang kelak akan menyulitkan saya ketika saya memilih untuk hidup menjadi seorang sufi.
Lagi pula, misalnya saya benar-benar orang yang tidak baik nih, lah urusan saya dengan mereka apa? Kan saya tidak menyakiti mereka. Tidak juga mencaci-maki mereka. Saya merasa tak punya kewajiban untuk membuat mereka, si kontak saya itu, menilai bahwa saya ini orang yang baik, saleh, serta selalu mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan Dasa Darma Pramuka dalam kehidupan sehari-hari.
Cuma masalahnya mungkin, saya tidak pernah memposting kegiatan saya ketika mengaji, salat, bersedekah, dan makan-makanan halal yang merupakan ciri-ciri manusia ber-Akhlakul Karimah. Takebeer!!
Ketiga, WatsApp saya adalah milik saya dan saya sudah merasa cukup umur dalam memegang kendali media sosial saya. Tidak ada satu orang pun, termasuk orang tua saya, apalagi dosen saya, berhak mengatur konten yang mesti saya posting. Intinya, saya tidak akan memposting hal-hal yang tidak boleh orang lain di dunia ini tahu!
Jadi, kalau mereka misalnya terganggu atau terpengaruh dengan postingan tidak baik-tidak penting-sesat saya, hal yang paling gampang dibanding harus berpikir yang tidak-tidak tentang diri saya hanya melalui postingan saya adalah dengan membisukan postingan saya, atau menghapus kontak saya sekalian. Selesai.
Terakhir dan mungkin bagi saya yang terpenting, saya hobi menulis. Saya memiliki, meskipun tidak banyak, beberapa karya yang perlu saya bagikan ke seluruh penjuru dunia. Maka, dengan kata lain, mereka, semua kontak saya itu, adalah pasar tulisan saya. Baik pasar komersil maupun pasar non-komersil. Toh, sekali waktu, saya juga memposting puisi-puisi karya saya, buku saya, tulisan-tulisan saya, dan pandangan-pandangan saya terkait politik, dan tetek-bengek isu berbobot lainnya atau memposting hal-hal yang saya kira bermanfaat. Seperti yang paling terkecil misalnya, saya pernah memposting foto pribadi yang sedang menggunakan masker. Bukankah itu mencerminkan generasi yang patuh akan protokol kesehatan?
Dan kadang kala, saya memiliki misi ideologis terselubung dalam memposting sesuatu yang itu sangat berguna bagi pemaparan diri saya dan karya saya, sekalipun postingan tersebut bagi sebagian orang merupakan hal yang tidak pantas dan tidak penting atau cenderung pamer. Saya pun kadang kala berupaya menyelipkan beberapa kritik dengan gaya satire melalui gambar atau caption. Kadang juga, ya, saya hanya kepingin memposting saja tanpa misi apapun. Ya lagian kenapa sih! Suka-suka saya gitu tuh!
Yang memang sangat disayangkan dari saya adalah, dan ini rupanya perlu menjadi bahan renungan saya, saya jarang sekali memposting hal-hal islami yang menginspirasi keimanan seseorang seperti membagikan infografis dakwah bertuliskan hadis nabi, broadcast malam Nisfu Sya'ban, keutamaan membaca surat Al-Kahfi di hari Jum'at, buka puasa Senin-Kamis, dan memproklamirkan #Indonesiatanpapacaran sembari menakut-nakuti neraka kepada mereka yang bucin itu, yang membuka aurat itu, yang tidak nikah muda malah pacaran melulu itu.
Atau juga, saya jarang memposting quotes motivasi yang menggugah semangat generasi muda kita yang sedang galau, insyekur, overthinking, atau yang sedang mengalami Quarter Life Crisis.
Comments
Post a Comment