Maskulinitas Orang-Orang Sekolahan
Sumber Gambar: @Dandelion_1922
---
Pada suatu ketika, saya pulang ke kampung halaman dari tempat di mana saya bersekolah--kota. Entah mengapa, kaca mata saya dalam memandang tempat kelahiran saya, yang pada masa lalu, menjadi tempat paling menyenangkan, pada saat itu, seolah-olah tak ada gairah apapun di sana dan terkesan semua hal dan tempat di setiap sudutnya, membosankan. Saya menduga, apakah pengaruh kebudayaan kota menempel di baju, kemudian menyebar ke tubuh saya, dan mengalir ke dalam darah saya, sehingga kemudian memengaruhi cara saya memandang. Entah, saat itu, saya belum tahu. Yang jelas, setiap hal, apapun yang saya lihat di tempat di mana pertama kali saya melihat dunia itu, adalah sebuah kekacauan yang ingin saya benahi secepat mungkin. Seperti cara orang-orangnya mengobrol, tertawa, bertingkah laku, berpakaian, berpikir, serta kebiasaan-kebiasaan mereka yang sangat jauh dari kata "beradab" dalam teoritis yang ada di tempurung kepala saya selama ini, selama saya lama tinggal di kota sana, benar-benar tak cocok dengan kaca mata saya.
Pandangan tersebut tentu mengganggu ketenangan batin saya. Setiap hari, saya selalu berpikir untuk bagaimana caranya, sebagai orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman banyak ini, saya dapat merubah tatanan kebudayaan masyarakat di tempat kelahiran saya. Seperti misalnya masyarakatnya melek huruf, memiliki minat baca tinggi terhadap buku, memahami teknologi, tidak membuang sampah sembarangan, membangun masyarakat yang cerdas, dan sejahtera.
Perasaan semacam ini juga pernah melanda saya sewaktu melakukan kegiatan Kuliah Kerja Mahasiswa, kegiatan yang orang sekolahan sebut sebagai pengimplementasian Tri Darma Perguruan Tinggi yang poin pengabdian masyarakat itu. Perasaan memandang "berantakan" dan kemudian berkeinginan membenahi tempat di mana saya melakukan KKM itu, hadir begitu saja entah dari mana asalnya. Padahal sebenarnya, tempat saya melakukan KKM tersebut tidak jauh dari tempat kelahiran saya, baik dari segi jarak maupun jenis kebudayaannya. Tetapi anehnya, perasaan ingin membenahi tersebut muncul seperti saya adalah orang kota yang baru datang ke sebuah perkampungan kumuh dan melihat kebiasaan orang-orang kampung yang membuang sampah-mencuci-mandi-dan-buang-air-besar di sungai membuat saya terkejut, terheran-heran, dan penuh filosofis dan sok medis dalam memandangnya. Padahal, bertahun-tahun saya sudah akrab hidup di dalam lingkungan semacam itu. Yang saya sesali, kemana saja saya selama ini?
Apakah tingkat pendidikan saya dan pengalaman saya yang memengaruhi cara pandang saya itu? Entah, lagi-lagi saya katakan dengan tegas, saya belum tahu.
Lalu, untuk menguji pertanyaan saya ini, saya melakukan riset kecil-kecilan dengan mewawancarai beberapa kawan saya yang juga kebetulan menyandang peran sebagai "mahasiswa asal kampung yang tinggal di kota". Sialnya, kawan-kawan yang saya tanyai itu mengalami hal yang sama seperti saya. Bahkan yang lebih ekstrem--ini menurut definisi saya--mereka membuat sebuah gerakan untuk mengaktualisasikan keresahan mereka di tanah kelahiran mereka. Yang bisa saya pahami dari hal semacam ini adalah: bahwa tingkat pendidikan mereka memengaruhi kesadaran mereka khususnya terhadap lingkungan mereka. Entah jenis kesadaran apa itu.
Tetapi, yang menjadi masalah di kemudian hari adalah saya mengalami semacam krisis definisi terkait kekacauan apa dan kesejahteraan jenis apa yang ingin saya wujudkan di tempat kelahiran saya ini dan yang paling penting, kesadaran macam apakah yang sedang bersarang di kepala saya? Atau begini saja. Ataukah hanya saya yang mengalami krisis definisi ini sedangkan kawan-kawan saya sudah cukup berhasil merumuskan kekacauan dan kesejahteraan yang dimaksud? Bukti paling konkretnya adalah saya hanya menggerutu di dalam batin saya, sedangkan mereka, kawan-kawan saya itu, sudah melangkah jauh dengan membuat sebuah gerakan yang mereka sebut sebagai bentuk kesadaran? .
Sayangnya, sampai detik ini, ketika saya menyelesaikan tulisan ini, sudah puluhan mahasiswa yang keluar-masuk kampung, sudah bermacam-macam narasi tentang "kekacauan" dan "kesejahteraan" yang berbeda setiap tahunnya, dan sudah puluhan gerakan yang dibentuk. Namun, kondisi tanah kelahiran saya tidak banyak berubah (untuk tidak menyebut semakin parah) setidaknya menurut definisi sejahtera saya dan mereka ketika pertama kali pulang ke kampung. Malahan, orang-orang itu, yang sepulang dari sekolah di kota itu, yang membawa narasi kesadaran dan perubahan itu, kini sudah kembali ke kota dan membangun keluarga kecilnya di sana dan tidak pulang lagi, atau meskipun ada yang masih tinggal di kampung pun, ia terlunta-lunta dan tak dapat berbuat banyak. Paling keren, mereka menjadi pegawai desa yang mengimplementasikan kesejahteraan yang mereka maksud ke dalam hidup mereka sendiri.
Ini jelas kontradiksi dan mengkhawatirkan. Khususnya untuk diri saya sendiri sebagai orang sekolahan. Apa yang saya harus lakukan ke depan sebagai calon sarjana kampung?
Tetapi sialan, sebentar, mengapa saya harus memikirkan ini, maksudnya, mengapa saya harus bertanya mengenai apa yang saya lakukan terhadap kampung saya? Siapa saya? Dan apa dasar saya mengatakan bahwa kampung saya kacau dan tidak sejahtera? Mengapa saya tidak bersikap biasa saja layaknya orang biasa? Sebab, jangan-jangan, kampung saya secara kebudayaan, ya, sama saja seperti masa kecil saya dulu. Jangan-jangan mereka sudah sejahtera setidaknya di dalam definisi mereka, bukan definisi saya. Lagipula, rupanya, sejahtera definisi saya ini bisa jadi hasil dari kurikulum sistem pendidikan yang kiblatnya cenderung mengukur kesejahteraan berdasar pada kerapian pakaian, kebersihan wajah, kedisiplinan pemikiran, pekerjaan di pabrik atau kantor, pergaulan yang modern, kesuksesan harta dan jabatan, serta popularitas. Jika misalnya kita ambil contoh masyarakat Baduy, jangan-jangan definisi sejahteta yang kita maksud adalah bahwa mereka merupakan masyarakat pelosok dan tertinggal yang menurut data, tidak sejahtera. Tidak ada listrik, tidak ada sekolahan, tidak ada gedung tinggi, pekerjaan masyarakatnya berkebun dan bertani, dan tidak berpikir modern. Kalau memang demikian, barangkali sejahtera yang saya maksud ketika saya pulang dari kota itu adalah bentuk kesombongan intelektual, atau istilah bekennya adalah bentuk maskulinitas orang-orang sekolahan?
Maskulinitas, yang lumrah didefinisikan sebagai kejantanan seorang laki-laki ini berhubungan erat di masyarakat kita sebagai kekuatan. Sedangkan lawannya, feminin, atau sesuatu yang berkaitan dengan perempuan berhubungan erat di masyarakat kita sebagai kelemahan. Ini bukan asumsi miring. Kita semua sudah sering berpandangan serta berprilaku demikian, dan saya mohon untuk kita mengakuinya, bahwa budaya patriarki atau pengutamaan laki-laki dibanding perempuan dalam hal ihwal hidup bermasyarakat ini lenggang dan adem ayem di kebudayaan kita.
Jangan-jangan, kedatangan kita kembali ke kampung halaman kita ini sebagai orang sekolahan juga turut serta membawa pandangan maskulinitas kita. Kecerdasan kita, sadar atau tidak sadar, dianggap oleh kita sendiri sebagai kehebatan dan kejantanan yang kemudian memandang lingkungan sekitar kita, yang kumuh, yang kebanyakan tidak cerdas itu, laiknya seorang perempuan dalam pandangan patriarki. Sehingga apa yang timbul dan keluar baik di dalam pikiran serta perilaku kita adalah sama seperti halnya bagaimana kita memposisikan diri sebagai laki-laki, yang sok kuat itu, yang sok cerdas itu, dan kampung kita sebagai perempuan, yang kita anggap lemah itu, yang tidak cerdas itu.
Lantas, apakah kita tak boleh memiliki kesadaran semacam itu ketika kita sudah lebih banyak mengalami kebudayaan yang luas dan pengetahuan yang bertambah? Dan, apakah setiap kesadaran semacam itu dikategorikan sebagai maskulinitas orang sekolahan?
Tentu saja tidak. Sebab banyak pula yang memang dapat merumuskan kesejahteraan tersebut dalam bentuk konkret. Artinya, jelas, terukur, luwes, kontruktif, dan tak ada intrik menaikan popularitas atau kekuasaan. Tetapi bisa jadi juga iya. Sebab, lagi-lagi saya tegaskan, saya cukup meyakini sementara ini, bahwa definisi kesejahteraan yang saya dan mereka bawa pada saat pulang dari kota itu adalah barangkali kesejahteraan hasil dari definisi sistem pendidikan dan sistem kebudayaan orang-orang kota yang cenderung gemerlap dan materialistis yang berkiblat tentu saja pada konsumerisme dan kapitalisme. Dan, bisa jadi pula, narasi kekacauan dan kesejahteraan yang dimaksud itu adalah bentuk pengukuhan diri bahwa kita adalah mahasiswa, kita bangga. Kita harus sadar. Kita harus kritis. Kita agen perubahan. Sebab kita berpendidikan, dan mereka tidak. Mereka harus menyadari itu dan mengakuinya bahwa saya orang kampung yang berpendidikan, yang bersekolah tinggi, yang modern, yang menjadi mahasiswa.
Kalau kemudian kita tersinggung, baiklah, jangan hiraukan omong-kosong saya di atas. Sebab, perubahan sudut pandang dan kesadaran semacam ini harus ada dan hidup, dan barangkali niscaya ada dan hidup, di dalam diri seseorang yang sudah lebih banyak "makan bangku sekolahan" dan memakan "asam-manisnya garam kebudayaan" luar--atau kita sebut saja orang-orang sekolahan. Yang kemudian menjadi penting adalah, yang ini juga masih menjadi refleksi di dalam diri saya, bentuk kesadaran semacam apa dan kaca mata apa yang saya bawa dan gunakan sepulangnya saya dari menimba ilmu di kota yang gemerlap itu?
Comments
Post a Comment