Fenomena Trendingnya Kekeyi, Aktivitas Media Sosial, dan Gejala FOMO di Keseharian Kita
Ketika suatu pagi saat saya membuka group WatsApp, kawan-kawan saya sedang asyik berbincang perihal Video Kekeyi berjudul "Aku bukan boneka" yang mendapat trending 1 YouTube. Seperti biasa, saya melakukan scroll hingga ke paling ujung chat group. Kemudian saya menemukan link yang menuju ke akun video tersebut. Awalnya saya sangat biasa saja menanggapinya seperti yang sering saya lakukan sebelum-sebelumnya. Paling, saya hanya sedikit berkomentar begini, "Lagi-lagi yang begini bisa trending."
Namun setelah lima hari video tersebut masih saja bertengger di urutan pertama trending Youtube, saya mengalami kegerahan. Kegerahan ini bukan diakibatkan oleh anggapan bahwa konten tersebut tidak bagus. Bahkan Jujur, saya begitu mengapresiasi konten tersebut cukup kreatif betapa Kekeyi, dayang-dayang yang ikut joget-joget, dan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan konten tersebut sangat serius dan mengerti akan pasar. Apalagi lagu tersebut katanya digarap oleh Kekeyi sendiri.
Yang menjadi kegerahan saya adalah bukan soal "mengapa" video tersebut trending dan ditonton sampai 16 juta lebih orang? Akan tetapi pertanyaan saya lebih menyasar pada "siapa yang membuat" konten tersebut bisa bertengger di urutan pertama dan menggeser konten-konten lain sehingga menjadi diskursus utama dalam masyarakat kita. Pertanyaan saya tentang "Siapa yang membuat" ini selanjutnya menjadi dasar analisis saya bahwa trending-nya Kekeyi bukan semata-mata terjadi lantaran bagusnya racikan konten tersebut sehingga 16 juta lebih orang rela menghabiskan kuotanya untuk menonton konten tersebut. Sebab saya rasa, jika indikator trending YouTube berdasarkan dari kualitas konten, konten-konten seperti Kekeyi, Atta Halilintar dan beberapa Youtuber lain tak bakal mendapat tempat. Akan tetapi, indikator dan filter trending tentu saja disebabkan oleh banyaknya aktivitas yang berlangsung dari konten tersebut. Dan yang selanjutnya perlu disorot adalah mengapa orang-orang lebih banyak menghabiskan aktivitas media sosial mereka pada konten-konten tersebut sehingga akhirnya konten tersebut menjadi diskursus utama di masyarakat.
Aktivitas media sosial ini kemudian lebih mengarahkan pada siapa sosok yang berada di konten tersebut bukan apa yang disajikan pada konten tersebut. Sebab saya meyakini bahwa Kekeyi adalah sebuah hasil dari fenomena budaya di mana semakin banyak orang yang mencemooh seseorang, maka semakin banyak mereka melirik orang yang dicemooh tersebut. Dalam artikel berjudul "Anti-Fan: Kucinta untuk Membenci" yang ditulis oleh Ann Putri di https://www.remotivi.or.id/mediapedia/596/anti-fan-kucinta-untuk-membenci
Saya menemukan bahwa yang terjadi pada trendingnya sosok Kekeyi ini diakibatkan dominasi "Anti-Fan." yang meramaikan aktivitas media sosial dan menjadi sosok dibelakang layar yang mengangkat trendingnya Kekeyi dan figur-figur lain selama ini. Sebab, kata Ann Putri, "Logikanya, orang yang tidak menyukai sesuatu tidak akan mencari tahu objek yang mereka tidak sukai. Tapi, anti-fans justru melakukan hal yang sebaliknya. Mereka mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang objek yang mereka benci sehingga bisa membuat basis alasan ketidaksukaan mereka."
Sebagai figur, Kekeyi adalah sosok yang secara kontruksi sosial merupakan sosok penghibur. Branding person yang dibangun oleh aktivitas media sosial membuat segala tingkah laku Kekeyi mengundang gelak tawa dan penghibur di kala hati sedang penat-penatnya. Dan, fenomena demikian merupakan satu di antara ribuan fenomena yang sering terjadi dalam kebudayaan kita dewasa ini. Fenomena viral dan trendingnya Kekeyi ini membuka wacana baru bagi saya terkait diskursus kebudayaan. Sedang berada pada kebudayaan apa kita ini dan apa dampaknya pada psikologis kita yang turut serta dalam aktivitas media sosial setiap harinya?
Kita, yang setiap hari tak pernah alpa bermain media sosial tentu saja sering mengalami kegelisahan, keterasingan, dan perasaan ingin selalu up to date dalam hal apa pun. Bahkan istilah insecure sering kali menghantui beberapa dari kita yang gagal dalam menghalau pertahanan kita dari gempuran aktivitas di media sosial. Istilah bekennya adalah FoMO "Fear of Missing Out". Istilah yang secara sederhana bisa saya artikan sebagai keterasingan diri akibat terobsesi oleh sesuatu yang kita anggap lebih baik dan memukau dalam aktivitas media sosial.
Mengutip artikel di https://inet.detik.com/cyberlife/d-2237972/fomo-fobia-baru-para-pecandu-internet yang membicarakan mengenai istilah FoMO ini mengungkapkan bahwa:
"Konsep baru ini merujuk pada kekhawatiran orang-orang jika melihat orang lain terlihat lebih bahagia dan merasakan kepuasan yang lebih besar daripada mereka. Keadaan ini biasanya ditandai dengan keinginan untuk tetap terhubung dengan media sosial secara terus-menerus, terutama untuk mengetahui apa yang orang lain lakukan."
Fenomena ini tentu saja menjadi sebuah ironi, khususnya bagi saya, di sisi lain era teknologi mengajak kita untuk ikut masuk ke dalamnya dan menikmati manfaatnya yang melimpah. Seperti misalnya kemudahan dalam bertransaksi, kecepatan dalam berkomunikasi, dan aktivitas lain yang serba canggih. Tetapi di sisi yang lain, kita semakin dirongrong oleh kecemasan-kecemasan yang menjadikan kita teralienasi dari kehidupan nyata kita sendiri. Dan, saya meyakini bahwa kebudayaan viral dan trending ini semakin menyumbang pengaruh keresahan kita dalam aktivitas di media sosial. Sebab dalam kondisi sekarang ini, teknologi sedang mengiming-imingi kita ketenaran, kekayaan, dan ketokohan yang bisa kita tempuh dengan dua cabang jalan. Pertama, jalan berliku yaitu membangun person dengan mengedepankan potensi dan kemampuan kita . Kedua, jalan instan yaitu membangun person kita melalui apa saja yang penting viral.
Jalan apakah yang akan kita pilih?
Comments
Post a Comment