Berhentilah Mengatakan Bahwa Kodrat Perempuan itu Memasak dan Kodrat Laki-laki Tak Boleh Menangis!
Sumber: @Ilhamrambe_
_______
"Kan memang kodratnya perempuan itu di rumah."
"Kodrat perempuan kan memang harus bisa masak."
"Kodrat perempuan kan harus lembut."
"Sana angkat galon! Kamu kan laki-laki!"
"Laki-laki kok cengeng!"
Narasi di atas tentu saja sering dan bahkan hampir setiap hari kita dengar dan katakan sendiri pada sebuah proses komunikasi sosial tanpa benar-benar kita sadari apa dampak dari asumsi-asumsi tersebut bagi kebudayaan kita.
Saya barangkali cukup memaklumi apabila narasi tersebut terdengar sangat biasa dan tanpa masalah bagi sebagian orang. Sebab pandangan ini merupakan pandangan yang sudah mapan di masyarakat kita. Orang tua kita, lingkungan kita, sekolah kita, acara televisi kita, dan sampai dunia percintaan kita, sering sekali menggulirkan narasi demikian tanpa merasa ada hal aneh di sana. Padahal kalau kita telisik lebih jauh, narasi demikian yang akhirnya menimbulkan penyimpangan-penyimpangan gender yang berdampak pada ketidaksetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Lalu, mengapa narasi ini bisa menyebarluas dan menjadi mapan di masyarakat kita kalau memang ada unsur keanehan di dalamnya?
Pertama, seperti yang selama ini saya yakini, bahwa sebuah teori, sistem, atau kebudayaan, jika sudah menetap lama dan menjadi comon sense, rasanya akan sulit di dekonstruksi dan tak jarang, kita yang terus menyela akan dijatuhi vonis yang cukup serius. Seperti misalnya liberal, kafir, komunis, antek PKI, dan tetek-bengek vonis lainnya.
Kedua, dalam konteks ini, Michael Foucault menasihati saya pada suatu waktu menyoal diskursus. Ia mengatakan bahwa diskursus merupakan sebuah sistem berpikir, ide, gambaran-gambaran yang kemudian membangun sebuah konsep suatu kultur atau budaya. Diskursus dibangun oleh asumsi-asumsi umum yang kemudian menjadi ciri yang khas baik oleh suatu kelompok tertentu maupun dalam satu periode sejarah tertentu. Sebuah asumsi menjadi diskurus di masyarakat tentu telah mengalami pertarungan yang sangat sengit sepanjang sejarah. Pertarungan-pertarungan diskursus selalu berlangsung melalui penyebaran produk kebudayaan yang didukung oleh sistem politik, pendidikan, agama, dan tetek-bengek sistem lainnya. Asumsi mengenai kodrat perempuan yang hari ini menjadi diskursus tentu saja hasil kemenangan dari proses-proses pertarungan tersebut yang masih berpotensi untuk kita dekonstruksi dengan diskursus yang lebih rasional.
Diskursus bukan persoalan apakah wacana tersebut baik atau buruk yang menjadi pemenang. Tetapi bagaimana ia pada akhirnya berhasil menjadi asumsi-asumsi umum yang membanjiri dan mengakar di ruang kebudayaan kita yang secara konsensus wacana tersebutlah yang kemudian diakui sebagai sesuatu yang saklek dan memang sudah ada dari sana nya.
Oleh sebab itu, kemapanan wacana dan nasihat di atas pada akhirnya menjadi alasan saya dalam membongkar kemapanan dan mengupayakan perlawanan diskursus yang hari ini mengakar. Dan saya akan memulai pertarungan ini dari hal yang paling sederhana, yaitu error of defining. Sebab sependek keyakinan saya mengenai diskursus gender hari ini, kesalahan dalam mendefinisikan gender dan kodrat menjadi dasar permasalahan ketimpangan gender yang lebih luas.
Secara harfiah, kodrat bisa kita pahami sebagai kekuasaan Tuhan. Kodrat, dalam hal ini, berarti apa yang telah Tuhan berikan secara mutlak kepada kita baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan. Kodrat yang diberikan secara khusus oleh Tuhan kepada laki-laki tak bisa dimiliki atau diganti-peran oleh perempuan. Begitupun sebaliknya. Apakah memasak adalah kodrat perempuan? Apakah maskulinitas adalah kodrat laki-laki? Barangkali kita bisa menjawabnya tanpa harus bersemadi atau bertirakat terlebih dahulu bukan?
Tetapi kalau masih saja bingung dengan penjelasan dan pertanyaan yang tidak analitik dan berlandaskan jurnal ini, coba buka ponselmu, tontonlah tayangan acara masak-masakan dan acara petualangan. Kita pasti bakal menemukan seorang lelaki yang memasak atau perempuan yang sedang memanjat tebing yang tinggi. Apakah hal demikian kemudian menyalahi kodrat? Apakah perilaku-perilaku tersebut menyalahi kekuasaan Tuhan?
Baiklah, coba perhatikan di sekeliling kita, apakah pernah kita melihat-mendengar-menyaksikan seorang lelaki yang melahirkan? Apakah kita pernah menemukan perempuan berpenis? Dalam konteks ini, dengan kata lain, kita bisa mendefinisikan bahwa kodrat merupakan sisi biologis laki-laki dan perempuan yang tak bisa kita gantikan peran dan fungsinya meskipun kita berdebat dan berdoa di sepertiga malam setiap hari. Secara biologis, kita barangkali mengenal istilah betina untuk yang melahirkan dan jantan untuk yang membuahi.
Sedangkan gender secara sederhana bisa kita pahami sebagai jenis kelamin yang ditempelkan peran dan fungsinya oleh konsensus masyarakat. Gender dan kodrat memiliki perbedaan yang cukup signifikan yaitu pada sisi peran dan fungsi yang bisa kapan saja ditukar dan dipelajari tergantung kesepakatan, kepentingan, dan kebutuhan. Misalnya begini, peran dan fungsi vagina perempuan tidak bisa digantikan oleh laki-laki lantaran ia tak memiliki vagina. Begitupun sebaliknya. Dan itulah yang dinamakan kodrat. Berusaha sekeras apapun untuk menukar peran dan fungsi agar laki-laki bisa melahirkan, saya pastikan, tidak akan berhasil. Dan nampaknya kita perlu melakukan pengobatan serius bahwa jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kepala kita.
Sedangkan soal memasak, mengangkat galon, cengeng, dan lain sebaginya tentu saja bisa dipelajari, disepakati, dikondisikan tergantung pada latar belakang kebudayaan yang berlaku. Dan gender biasanya sering diistilahkan sebagai laki-laki, perempuan, pria, wanita, cewek-cowok, dan istilah-istilah lain yang berlaku dalam kamus besar peristilahan.
Dalam kehidupan sosial, kita bisa membagi tugas gender secara bergantian sesuai kesepakatan, kepentingan, dan kebutuhan. Dan itu tidak menyalahi kekuasaan Tuhan karena sama sekali tidak bersangkut-paut pada sisi biologis manusia. Misalnya memasak. Adakah syarat mutlak secara biologis yang menghendaki seseorang baik laki-laki maupun perempuan bisa memasak. Misalnya berkromosom X, memiliki hormon tertentu. Tidak ada. Memasak merupakan keterampilan yang bisa dipelajari. Semua manusia, tak memandang dia laki-laki atau perempuan, semua bisa berpotensi untuk jago memasak. Begitupun dengan mengangkat galon, cengeng, memanjat tebing, membuat jembatan. Semua itu perilaku sosial dan bisa dipelajari. Tetapi, untuk melahirkan. Adakah pembelajaran untuk laki-laki bisa melahirkan? Adakah sistem pelatihan, yang terakreditasi A plus plus sekalipun, mengajarkan cara menstruasi?
Barangkali, hal sederhana inilah yang perlu menjadi dasar berpikir kita dalam memahami gender dan kodrat yang kemudian menjadi landasan berpikir selanjutnya ketika kita perlu memahami kesetaraan gender, sejarah gerakan perempuan, ideologi feminimisme, fenomena LGBT dan pembahasan gender yang lebih luas dan filosofis lainnya. Sebab, dampak dari kesalahan kita dalam mendefinisikan gender dan kodrat berarti melanggengkan pandangan patriarki, baik dari sisi laki-laki maupun sisi perempuan sendiri, yang kemudian semakin melancarkan penindasan antar keduanya yang sebenarnya tidak kita sengaja dan nyaris tidak kita sadari.
Maka, untuk yang sudah memahami, berhentilah mengatakan bahwa kodrat perempuan itu memasak dan kodrat laki-laki itu tak boleh menangis. Apalagi sampai berpandangan patriarki yang sistemik bahwa perempuan yang memakai kerudung adalah berlian, dan perempuan yang tidak berkerudung adalah gorengan.
Comments
Post a Comment