Bagaimana Nasib Pendidikan Anak Saya pada Tahun 2050, Pak Nadiem?
Sudah setahun lebih semenjak hadirnya Pandemi virus Korona di negara kita dan dunia, salah satu yang paling terdampak dari Pandemi ini adalah dunia pendidikan. Mulai dari pendidikan dasar hingga mereka yang berada di perguruan tinggi, hari ini, mau tidak mau, suka tidak suka, harus membiasakan diri dengan gadget, beraktivitas daring, jaringan internet yang lemot, dan menghadap aplikasi tatap muka yang membosankan. Bukan saja membosankan dari segi proses pembelajaran, tetapi juga terletak pada proses pengembangan sisi sosial-emosional peserta didik. Setidaknya sementara ini, kita masih meyakini bahwa aktivitas sosial secara dekat dan erat lebih meninggalkan banyak kesan dibanding dengan menghadap kotak bercahaya dengan tubuh yang saling berjauhan.
Sekilas, memindahkan papan tulis dari ruang kelas ke aplikasi tatap muka ini cukup menyeramkan. Namun, jika kita melihat dari sisi lain, sisi masa depan nun jauh di sana yang sedang melambai ke arah generasi kita, kita sedang disambut untuk masuk ke dalam, meminjam istilah Yuvual Noah Hararri, dunia dengan transformasi dan ketidakpastian radikal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menganggap bahwa kondisi demikian bersifat sementara dan kelak semua akan kembali seperti semula adalah sebuah jenis keluguan. Dunia kita, dunia pendidikan kita, pasca-korona ini, bakal dipaksa, atau jika tak berlebihan dituntut, untuk berubah total, atau tetap mempertahankan model lama dengan konsekuensi tertinggal jauh.
Bagi saya, pemindahan medium dalam ruang kelas ke ruang maya ini bukan saja lantaran alasan satu-satunya adalah mencegah penyebaran virus pada siswa, guru, tukang sapu, atau penjaga kantin. Tetapi, alasan lain yang cukup masuk akal, setidaknya menurut saya, adalah dunia kita yang sedang merangkak maju ke depan yang mengharuskan dunia pendidikan kita segera berbenah secepatnya.
Sebab, melihat dunia era abad 21 ini, kita sedang berpamitan pada era mesin dan akan memasuki zona anyar, seperti di film-film fiksi ilmiah, yaitu era cybrog, Artifisial intelegensia, in-virtual yang merupakan anak kandung dari perkawinan bioteknologi dan informatika.
Kondisi demikian sangat memungkinkan adanya loncatan besar dan radikal dari sistem pendidikan kita. Tantangan teknologi ke depan, diprediksi akan jauh lebih pesat dari yang kita rasakan hari ini. Dan tentu saja, kita belum mengetahui banyak hal tentang apa yang terjadi pada sistem politik kita, pasar kerja kita, sistem ekonomi kita, sistem sosial-budaya kita, satu dekade ke depan, dua dekade ke depan, tiga dekade ke depan. Namun yang pasti, hari ini, kita telah mampu berkomunikasi jarak jauh, memindahkan uang dengan waktu kurang dari satu menit, memesan makanan lebih cepat, terbang dengan kecepatan kilat, memantau kehidupan di seberang nun jauh di sana hanya dengan duduk manis, menemukan obat-obatan bagi berbagai macam penyakit. Maka, tidak ada alasan pada satu, dua, tiga dekade ke depan kita akan kembali berburu Mamut, dan menyalakan api dengan menggosok batu bukan?
Dan pertanyaan paling fundamental yang patut kita renungkan adalah apa yang mesti kita ajarkan kepada bayi kita yang baru lahir tahun ini di mana pada tahun 2050 kelak berusia 30 tahun yang akan membantunya bertahan hidup dan berkembang? Keterampilan apa yang akan dibutuhkan di dunia pada tahun 2050 untuk memahami apa yang terjadi di sekitar, mencari pekerjaan untuk makan, dan menavigasi labirin kehidupan? Kemampuan mencangkul? Membajak sawah? Berburu ubur-ubur? Membuat kaligrafi? Tentu saja, orang tua yang bijaksana di mana smartphone canggih dalam genggaman tangannya dipenuhi banyak aplikasi cerdas akan berjuang sekuat tenaga untuk tidak membiarkan anak kesayangannya bermain lumpur, kepanasan, menganggur, dan tidak mengerti bahwa di ruang semesta yang luas ini kita dapat memesan makanan lebih cepat tanpa berpanas-panasan, menaiki mobil tanpa sopir (swa-kemudi), menghitung berat badan dan kalori yang dikeluarkan saat berolahraga, menganalisis selera kita dalam berpakaian, menunjukan jalan, dan yang paling mengerikan, mengambil alih pekerjaan kita.
Untuk tidak berandai-andai ke depan, mari kita lihat hasil pendidikan kita hari ini. Di tengah semakin canggih dan mahalnya smartphone kita, seberapa jauh kemampuan kita dalam memahaminya selain mengirim pesan, memesan baju, dan bermain game? Seberapa banyak keputusan hidup kita, dari hal yang paling terkecil seperti mencari nama-nama hewan berawalan huruf Y hingga hal yang paling penting seperti belajar agama, bersandar pada makhluk tak berdaging-berdarah seperti google dan YouTube?
Apakah saya kurang ajar jika mengatakan bahwa kemampuan kita akan jauh diungguli oleh Artifisial Intelegensi yang hari ini masih berupa YouTube dan Google? Dan bukan tidak mungkin, satu, dua, tiga dekade ke depan ada "makhluk lain" yang tidak hanya dapat menjawab pertanyaan remeh-temeh kita, tetapi bisa jadi, menggantikan pekerjaan kita. Jika saya adalah Elon Musk, atau Bill Gates, lebih baik saya menggantikan pekerja manusia yang malas, suka mengantuk, doyan mengeluh, banyak menuntut, dan pemarah dengan robot yang teliti, patuh, giat, dan rajin tersenyum. Cukup mengatur algoritmanya, mengurangi risiko kesalahan, lalu tidur nyenyak, dan untung besar menanti kita setiap detik tanpa ada yang meminta kenaikan upah. Robot barangkali tak butuh banyak uang.
Mari kita buka ponsel kita, carilah di search engine google anda, artikel yang membahas mengenai artifisial intelegensia. Lihat misalnya penelitan dari Nicholas Ernest, dkk., yang berjudul "Genetic Fuzzy Based Artificial Intelliegence for Unmanned Combat Serial Vehicle Control in Simulated Air Combat Missions" yang membahas mengenai bagaimana AI mengungguli manusia dalam penerbangan dan khususnya pada simulasi penerbangan tempur atau penelitian Wu Youyou, Michal Kosinski, dan David Stillwell yang berjudul "Computers-based personality judgments are more accurate than those Made by humans" di mana AI dapat menyajikan musik selera kita dengan menganalisis data biometrik yang mengalir dari sensor pada dan dalam tubuh kita, menentukan tipe kepribadian kita, mengenali suasana hati kita, dan menghitung dampak emosional yang mungkin dimiliki lagu tertentu, bahkan nada tertentu, kepada kita.
Jika misalnya bosan membaca teks, mari kita berselancar ke dunia visual. Lihatlah film Interstellar, Her, Gravity, Lucy, A.I, The Matrix dan sejumlah film lain bergenre serupa yang secara umum menyuguhkan plot masa depan dan kecerdasan buatan. Meski sebagian orang menganggap fiksi tidak patut untuk dipercaya dan ditelan mentah-mentah, kadang kala ia identik dengan realitas. Seperti apa kata Umar Ismail bahwa "sinema adalah potret peradaban sebuah bangsa, penanda sejarah yang menggambarkan seperti apa bangsa itu di masa tersebut"
Atau jika bosan menonton film lantaran berdurasi panjang, mari kita sama-sama menebak-nebak masa depan di Chanel YouTube Vian Flash. Masih kurang juga? Lihat ke sekeliling kita atau pergilah sana ke Silicon Valey, California, Amerika Serikat. Tempat yang konon katanya menjadi kelahiran banyak robot-robot canggih.
Akhirnya, dalam prediksi tentang masa depan ini, kita tak hanya dibayang-bayangi oleh gelombang manusia yang mubazir secara ekonomi yang kelak bukan lagi kita akan mengalami eksploitasi tetapi, jauh lebih parah daripada itu, irelevansi. Lantaran tak hanya pekerjaan-pekerjaan yang menggunakan otot yang akan digantikan oleh robot dengan mudah, tetapi tidak menutup kemungkinan, pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kognisi juga akan ikut tergerus. Dan sebelum menuju ke arah sana, ke arah Armageddon sana, pertanyaan "siapa kita, untuk apa kita berada di sini, dan apa yang sedang terjadi?" barangkali menjadi pertanyaan yang paling penting hari ini. Sebab, apa yang bisa diharapkan dari sistem pendidikan yang bergaya bangunan beton besar di tengah kota, yang di dalamnya dibagi kamar-kamar, masing-masing kamar dilengkapi dengan deretan meja dan kursi. Lalu saat mendengar bel, kita pergi ke salah satu ruangan itu bersama dengan tiga puluh anak lain yang semuanya lahir di tahun yang sama, di mana setiap jam orang dewasa masuk, dan mulai berbicara. Mereka dibayar untuk melakukannya oleh pemerintah dan memberitahu kita bentuk bumi, masa lalu manusia, memberitahu tubuh manusia, sambil memarahi kita yang lancang bertanya tentang: Apakah bumi itu benar-benar bulat dan apakah benar PKI itu tidak bertuhan?
*Sumber tertera di dalam tulisan
Comments
Post a Comment